Berita bahwa PT Gag Nikel telah kembali beroperasi di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat sejak Rabu, 3 September 2025 setelah sempat dihentikan sementara pada Juni lalu, kembali memunculkan pertanyaan fundamental tentang makna pembangunan dan modernitas di Indonesia. Keputusan ini bukan sekadar persoalan teknis administratif, melainkan cerminan dari cara pandang yang sudah terlampau lama mendominasi kebijakan pembangunan nasional kita.
Kadang kita, sebagai warga kota yang merasa "tercerahkan" oleh kehidupan modern, terjebak dalam arogansi intelektual yang menyesatkan. Kita merasa lebih hebat, lebih maju, dan lebih paham tentang kebenaran universal. Dengan mengusung semangat penyelamatan dunia melalui savior complex, kita lupa akan keberadaan kearifan lokal yang telah teruji ratusan tahun. Ironisnya, kita memaksakan apa yang kita anggap modern kepada mereka yang kita anggap "belum modern," tanpa menyadari bahwa modernitas yang kita kejar mungkin tidak cocok dengan kondisi dan kebutuhan penduduk lokal.
Kasus PT Gag Nikel yang beroperasi di Pulau Gag dengan luas hanya 6.500 hektar menjadi contoh nyata dari pemaksaan konsep modernitas yang problematis ini. Dalam pandangan pemerintah dan korporasi, eksploitasi nikel di pulau kecil tersebut dianggap sebagai langkah strategis untuk mendukung hilirisasi industri dan meningkatkan nilai tambah ekonomi nasional. Namun, perspektif ini mengabaikan fakta bahwa masyarakat Raja Ampat telah hidup dalam harmoni dengan alam selama berabad-abad, mengandalkan kekayaan laut dan hutan sebagai sumber kehidupan yang berkelanjutan.
Pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup menemukan berbagai pelanggaran lingkungan serius oleh empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, termasuk PT Gag Nikel. Temuan ini menunjukkan bahwa operasi pertambangan tersebut tidak hanya mengancam kelestarian lingkungan, tetapi juga mengingkari prinsip-prinsip keberlanjutan yang seharusnya menjadi fondasi pembangunan modern yang sesungguhnya. Limbah yang mengandung logam berat seperti nikel dan bahan kimia berbahaya dapat mencemari perairan laut dan mengganggu keseimbangan ekosistem, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.
Raja Ampat, yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia, seharusnya menjadi contoh bagaimana kearifan lokal dapat sejalan dengan konservasi alam. Masyarakat setempat telah mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya laut tradisional yang terbukti efektif menjaga kelestarian ekosistem. Mereka memiliki konsep sasi (larangan sementara penangkapan) dan sistem zonasi tradisional yang mengatur kapan dan di mana aktivitas penangkapan boleh dilakukan. Sistem ini tidak hanya menjaga keberlanjutan sumber daya, tetapi juga mencerminkan pemahaman mendalam tentang siklus alam dan keseimbangan ekosistem.
Namun, logika pembangunan yang didominasi oleh paradigma ekonomi kapitalistik cenderung mengabaikan nilai-nilai lokal tersebut. Yang dipentingkan adalah bagaimana mengekstraksi nilai ekonomi sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat. Capitalism without local context is simply colonialism - sebuah bentuk kolonialisme modern yang mengeksploitasi sumber daya lokal untuk kepentingan elit dan pasar global.
Pola yang terjadi di Raja Ampat sebenarnya hanyalah satu episode dari drama besar yang berulang di berbagai daerah di Indonesia. Seperti yang disoroti dalam reportase tentang Proyek Strategis Nasional, banyak program pembangunan yang berujung pada kehancuran lingkungan, degradasi ruang hidup, dan penderitaan warga lokal. The Gecko Project juga pernah melaporkan bagaimana perusahaan tambang nikel berhasil mencemari air di pulau tempat mereka beroperasi, dengan informasi tentang kandungan karsinogen yang membahayakan warga lokal justru ditutupi dari publik.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah pola respons pemerintah yang cenderung reaktif dan bersifat lip service. Setelah mendapat tekanan publik, pejabat akan mengecam operasi tambang dan berjanji melakukan evaluasi menyeluruh. Namun, ketika perhatian publik teralihkan oleh isu-isu lain - entah skandal artis, korupsi pejabat, atau kontroversi politik lainnya - pembangunan dan pertambangan akan terus berjalan sesuai rencana awal. Kementerian ESDM bahkan menyatakan bahwa PT Gag Nikel diizinkan beroperasi kembali untuk melakukan audit lingkungan, sebuah alasan yang terdengar kontradiktif mengingat audit seharusnya dilakukan dalam kondisi operasi yang terhenti.
Perlu ditekankan bahwa kritik ini bukan bentuk penolakan total terhadap pembangunan. Pembangunan tetap diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa. Namun, kontekstualisasi dan keseimbangan antara aspek lingkungan, manusia, dan ekonomi harus menjadi harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar. Pembangunan yang sejati adalah yang mendengarkan aspirasi penduduk lokal, memahami kebutuhan mereka, dan melindungi kehidupan mereka dari dampak negatif yang tidak perlu.
Masyarakat Raja Ampat telah hidup dalam kedamaian jauh sebelum konsep pembangunan modern datang menghampiri mereka. Mereka juga akan tetap dapat hidup dengan damai meskipun tanpa pembangunan yang berlebihan dan destruktif. Pulau mereka, keluarga mereka, kehidupan serta sejarah yang telah mereka bangun selama berabad-abad, bukanlah sekadar tumbal untuk kenyamanan manusia-manusia kota dan ambisi segelintir elit politik-ekonomi.