Mohon tunggu...
Pakro Wangka
Pakro Wangka Mohon Tunggu... Mahasiswa

Aku mahasiswa berasal dari NTT, sekarang aku di bandung, aku ingin menulis apa yg aku keluh.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Propaganda Kehidupan.

8 Oktober 2025   22:24 Diperbarui: 8 Oktober 2025   22:24 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar propaganda kehidupan oleh pakro wangka. 

Sejak manusia pertama kali membuka matanya, kehidupan telah memeluknya dengan seribu suara: ajaran, nilai, nasihat, dan keharusan. Kita diajarkan cara berbicara, cara berperilaku, cara bermimpi, bahkan cara mencintai. Semua itu terdengar seperti bimbingan, padahal perlahan menjadi bentuk propaganda yang paling halus propaganda kehidupan.

Kehidupan bukan hanya sekadar aliran waktu dan peristiwa, melainkan medan ideologis tempat manusia dibentuk. Segala yang kita sebut "normal" sesungguhnya hasil dari narasi besar yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kita tumbuh di bawah kalimat yang sama: "Hiduplah dengan baik, raihlah sukses, bangun keluarga, dan bahagialah." Tidak ada yang salah dengan itu, kecuali ketika semua itu dijalani tanpa kesadaran sebagai kewajiban, bukan pilihan.

Michel Foucault pernah mengatakan bahwa kekuasaan tidak selalu hadir dalam bentuk paksaan, melainkan melalui sistem pengetahuan dan kebiasaan yang membuat kita rela tunduk. Propaganda kehidupan bekerja dengan cara yang sama. Ia tidak menaklukkan lewat senjata, melainkan lewat keyakinan. Kita tidak diperintah secara eksplisit, tapi diarahkan lewat halusnya norma sosial, moral agama, dan ekspektasi budaya.

Kita diajarkan untuk mengejar kebahagiaan, tapi bentuk kebahagiaan itu sudah ditentukan: uang, karier, popularitas, dan citra diri yang indah di mata orang lain. Kita diajarkan untuk "menjadi diri sendiri," tapi lingkungan diam-diam menentukan seperti apa "diri" itu seharusnya. Dalam kebebasan yang dirayakan oleh dunia modern, manusia justru kehilangan otonominya. Sartre benar manusia memang bebas, tetapi terkadang kebebasan itu terasa seperti jebakan.

Setiap kali kita berkata "Aku ingin ini," patut kita tanyakan kembali: apakah keinginan itu benar-benar milik kita, atau hanya gema dari propaganda yang telah lama kita percaya? Apakah cita-cita kita lahir dari kesadaran, atau dari rasa takut tertinggal? Apakah cinta yang kita perjuangkan benar-benar tulus, atau sekadar mengikuti bentuk romantisme yang dijanjikan film dan iklan parfum?

Nietzsche menyebut dunia seperti ini sebagai dunia yang kehilangan Tuhan bukan dalam arti ateistik semata, melainkan dunia yang kehilangan pusat makna. Ketika propaganda lama agama, moral, tradisi mulai runtuh, manusia menciptakan propaganda baru: kesuksesan, kebahagiaan instan, dan produktivitas. Kita tak lagi berdoa kepada Tuhan, tapi kepada sistem yang menjanjikan validasi.

Namun di tengah absurditas itu, masih ada jalan sunyi yang ditawarkan filsafat: kesadaran.
Kesadaran untuk melihat hidup apa adanya, bukan sebagaimana dunia ingin kita melihatnya. Kesadaran untuk menerima bahwa tidak semua tujuan harus dikejar, tidak semua arti harus ditemukan, dan tidak semua kebahagiaan harus disetujui oleh orang lain.

Barangkali, hidup bukan soal menolak propaganda, tapi belajar menembusnya. Menyadari bahwa kita sedang dipengaruhi, namun tetap memilih secara sadar. Menciptakan makna, bukan sekadar mengulang makna yang diwariskan.

Pada akhirnya, propaganda kehidupan tidak akan pernah hilang. Ia akan terus berganti rupa, mengikuti zaman, menyamar menjadi cita-cita baru. Tapi selama manusia masih mau berpikir, bertanya, dan menafsir, propaganda itu tak akan lagi menjadi penjaramelainkan cermin tempat kita belajar mengenali diri sendiri.

Mungkin inilah kebebasan sejati yang dimaksud para filsuf:
bukan hidup tanpa arah, melainkan hidup dengan kesadaran bahwa arah itu kita tentukan sendiri, meski dunia terus berusaha mengarahkan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun