Mohon tunggu...
Devidia Tri Ayudiansyah
Devidia Tri Ayudiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - #akuberpikirmakaakuada

Nulla Tenaci Invia Est Via~

Selanjutnya

Tutup

Money

Volatilitas Kurs di Tengah COVID-19: Perlu Possible Trinity yang Masif

5 April 2020   23:28 Diperbarui: 6 April 2020   10:20 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

The whole idea of having a free trade area when you have gyrating exchange rates doesn't make sense at all. It just spoils the effect of any kind of free trade agreement.” Mundell 

   Baru saja akhir tahun 2019 lalu, setiap negara mulai dapat berbenah dalam ekonominya pasca perang dagang Amerika Serikat vs Tiongkok. Hingga hal ini ikut membawa optimisme proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia IMF pada angka 3,3% YoY untuk tahun 2020. Namun sayangnya angin segar ini tidak berhembus lama. Optimisme tiap negara untuk berbenah harus dipause lagi. COVID-19 penyakit menular yang awalnya menyerang China ini mengancam global dan menjadi beban terbarukan setelah perang dagang.

   Covid-19 tidak hanya datang membawakan dampak penurunan kesehatan publik, tetapi juga penurunan kesehatan ekonomi internasional baik negara maju ataupun Emerging Market Economic (EME’s). Fenomena ini membawa kembali, khususnya negara EME’s pada pertemuan dengan trinity impossible/Trilema. Kondisi yang dimana bank sentral negara mengalami kompleksitas kebijakan moneter sehingga harus mengatur Inflation Targetting Framework atau pengiringan inflasi yang sesuai target, pengaturan manajemen aliran modal asing, serta penjagaan stabilitas nilai tukar domestik terhadap asing.

   Mengapa hal ini terjadi? Negara EME’s mengalami fluktuasi nilai tukar yang cepat dari pandemi ini. Volatilitas atau kecepatan pergerakan nilai tukar tersebut hampir menyamai volatilitas pada kondisi sebelumnya, yakni pada saat adanya fenomena perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok yang menyebabkan contagion effect atau penularan pelemahan nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi dari negara ke negara. Benar, trilema ini bukan hal yang pertama kalinya dirasakan setiap negara EME’s. Beberapa studi menyebutkan, bahwa trilema ini suatu hal yang memang valid pada EME’s yang memiliki keadaan ekonomi terbuka. (Obstfeld et al, 2005)

   Termasuk di Indonesia yang merupakan salah satu negara EME’s ini, kali ini juga mengalami pergerakan cepat di nilai tukarnya. Beberapa kali pada awal tahun 2020 ini, mengalami pelemahan atau depresiasi, namun kemudian menguat lagi atau terapresiasi. Pada 24 Maret 2020, nilai tukar rupiah terapresiasi mencapai angka 16.486/USD dari hari sebelumnya 23 Maret 2020 yang mencapai 16.608/USD.  Lalu terdepresiasi lagi pada 27 Maret 2020, 16.230/USD dan pada 28 Maret 2020, 16.336/USD. Peningkatan dan penurunan nilai tukar ini yang kemudian terjadi berulang dalam hitungan hari hingga pada awal April. Hal tersebut mengindikasi percepatan pergerakan nilai tukar rupiah dan adanya sensitifitas global yang kian tinggi. Selaras dengan Pengukuran index VIX yang menghubungkan antara volatilitas nilai tukar dan sensitifitas ekonomi terhadap gejolak global atau global economic shock. Volatilitas nilai tukar dipengaruhi banyak oleh economic shock. (Ananchotikul et Al, 2014). Dalam studi lain (Chapolera, et al. 2015) memberikan temuan bahwa portofolio saham di EME’s market mempengaruhi volatilitas nilai tukar. Hingga perlunya manajemen aliran modal asing terlaksana untuk memitigasi risiko volatilitas nilai tukar yang berlebihan akibat volatilitas portofolio saham. Maka poin penting disini ialah perlu adanya manajemen aliran modal asing yang menjadi salah satu instrumen trilema. Dan disinilah tantangan setiap negara yang mengalami trinity impossible untuk mengubahnya menjadi possible trinity, bukan lagi dalam konsep adanya trade off. Karena pada umumnya trinity impossible atau trilema kebijakan ini disikapi sebagai konsep trade off, sehingga ada salah satu kebijakan yang ditinggalkan. Apakah itu kebijakan ITF yang ditinggalkan, atau kebijakan stabilitas nilai tukar atau juga manajemen aliran modal asing. (Warjiyo, Kebijakan Bank Sentral)

   Sebelumnya telah dibahas adanya volatilitas modal asing yang jauh lebih dominan mempengaruhi volatilitas nilai tukar, dibandingkan dari penyebab ekonomi domestik. Maka volatilitas modal asing yang seperti apa? Modal asing itu sendiri ada dua macam untuk negara EME’s termasuk Indonesia, yakni aliran modal jangka panjang dan jangka pendek. Pembagian ini selaras dengan asumsi metode Kalman Filter. Hasil empiris menunjukkan bahwa pada dekade 1990 aliran modal AS ke negara EME’s berubah lebih dominan pada jenis aliran modal jangka pendek atau temporer atau bukan lagi bersifat jangka panjang. Biasanya berupa investasi portofolio, atau pinjaman luar negeri. Sehingga Capital tersebut mudah sekali untuk menjadi hot money. Dalam artian sangat rentan untuk menjadi capital inflow dan kemudian menjadi capital outflow atau capital flight. Hal ini yang menyebabkan pada tahun 1997/8 Asia mengalami krisis keuangan ekonomi global. (Fuertes et al, 2014)  

   Hot money ini erat kaitannya dengan volatilitas nilai tukar. Karena risikonya yang lebih besar akan adanya spillover effect yang diakibatkan dari kebijakan ekonomi negara lain. Pergerakan hot money untuk datang ataupun pergi banyak diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh negara maju. Baik itu kebijakan suku bunga, tarif, dll. Dan Indonesia telah menerima dampak ini sejak saat adanya keterbukaan ekonomi atau tingginya kerja sama antar negara melalui perdagangan internasonal. Maka dari sini hot money merupakan masalah yang berkelanjutan yang dihadapi oleh Indonesia dari tahun ketahun.

   Dan saat ini Indonesia, ditengah adanya COVID-19 juga mengalami peran hot money. Capital dapat dengan mudah in/out flow. Yang membawa pada pergerakan depresiasi atau apresiasi yang cepat di Indonesia tengah pandemik ini. Volatilitas yang kian tinggi akibat kecenderungan hot money yang belum juga terhapuskan. Selaras dari penejelasan BI tentang adanya capital flight yang meninggalkan negara berkembang ke US Treasury yang dirasa lebih aman, tanpa kekhawatiran pada agen ekonomi.  Dalam hal ini yang melatarbelakangi ialah Market Psychology. Pada akhirnya hot money yang masih berlanjut hingga saat pandemi ini terjadi, tidak hanya membawa fluktuasi yang cepat tetapi juga membawa kekhawatiran agen ekonomi yang tinggi. Ditunjukkan dengan adanya peningkatan CDS (Currency Default Swap) naik ke 235,64 bps per 2 April 2020 dari 200,11 bps per 27 Maret 2020 dipicu oleh kekhawatiran resesi ekonomi global seiring berlanjutnya penyebaran kasus COVID-19. (Laporan BI Perkembangan Indikator Stabilitas Nilai Rupiah 3 April 2020)

   Sementara itu pada kondisi domestik, perekonomian Indonesia tidak terlalu menunjukkan gejolak. Kecuali pada penyimpangan penerimaan masyarakat yang terimbas COVID-19. Diluar hal itu, Inflasi masih tepat sesuai sasaran. Tercatat inflasi di bulan Maret 2020  sebesar 0,13% (mtm), lebih rendah dari bulan sebelumnya. Serta neraca perdaganagn internasional juga mengalami surplus akibat ekspor yang tetap produktif di migas ataupun non migas. Juga hal ini terjadi atas adanya penurunan impor migas ataupun non migas. Neraca perdagangan Indonesia Februari 2020 mencatat surplus 2,34 miliar dolar AS. Namun kembali lagi, hal ini akan menjadi peluang semu jika trilema impossible tetap pada konsep trade off, harus ada penyesuaian agar dapat menjadi possible trinity. Karena kedepan volatilitas nilai tukar yang cepat ini tentu akan membawa angin kencang yang menggoyahkan pada  kegiatan ekonomi domestik. Terpengaruh atas kepercayaan agen ekonomi dan juga daya beli untuk impor atau ekspor.

    Maka kunci utama dari sini ialah adanya hot money dan penyikapan kebijakan trinity impossible. Upaya yang telah dilakukan oleh Indonesia terhadap Hot money yang masih berketergantungan ini salah satunya ialah skema LCS. Malaysia, Thailand, Indonesia dan Jepang memiliki kesepakatan untuk mengurangi ketergantungan pada USD dengan penggunaan mata uang lokal untuk perdagangan dan hubungan bilateral antar negara yang menyepakati. Sehingga memutus rantai adanya spillover effect yang sering diakibatkan oleh kebijakan Amerika Serikat, termasuk adanya juga hot money yang menghinggapi negara EME’s setelahnya.

   Penelitian lain menunjukkan bahwa hot money itu sendiri disebabkan oleh perbedaan sistem nilai tukar yang dianut dari beberapa negara. untuk negara yang menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas, rawan sekali untuk didatangi hot money. Sedangkan sebaliknya pada negara tersistem nilai tukar tetap/mengambang terkendali lebih memiliki pengurangan pada hot moneynya. Hal ini terjadi atas perbedaan konsentarsi intervensi di pasar valuta asing. (Ananchotikul et al, 2014).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun