Mengingat Tantangan Kepariwisataan/Turisme
Segala sesuatu memiliki tantangan, jika berhasil mengelola maka akan menimbulkan banyak sisi positif dan jika gagal mengelola akan menimbulkan banyak sisi negatif. Demikian pula kepariwisataan memiliki tantangan. Bagaimana sebenarnya bentuk tantangan dari kepariwisataan? Sebagai bagian dari masyarakat Gereja Katolik telah melakukan telaah terhadap Turisme dan menuangkan dalam sebuah buku "Impact of tourism" yang disadur oleh Pusat Pastoral Yogyakarta. Pesan yang disampaikan ini saya pikir sangat berguna untuk pembaca untuk membangun kekritisan terhadap fenomena kepariwisataan yang terjadi.
Sebelumnya perlu untuk memahami apa yang dimaksud dengan Turisme. Turisme berasal dari bahasa Inggris yaitu, Tourism yang memiliki arti kepariwisataan. Tourism berasal dari kata tour berarti perjalanan. Orang yang melakukan perjalanan disebut dengan tourist atau turis.
Buku ini dimulai dengan penjelasan akan 3 model Turis, yaitu:
- Domestik : Berasal dari negeri sendiri yang datang dari kota untuk menyegarkan pikiran dari tekanan hidup di kota. Hanya sedikit membawa keuntungan bagi masyarakat lokal.
- Penyandang ransel berasal dari kalangan kaum pekerja negara maju. Mencari tempat liburan yang murah dan tinggal di penginapan yang sederhana. Hidup langsung dengan penduduk dan makan minum seadanya. Melanglang buana untuk mencari ketenangan batin dan jawaban tentang tujuan hidup dan ketenangan bathin. Kehadiran turisme dapat meningkatkan segi pendapatan masyarakat karena masyarakat dapat menyewakan penginapan, menjual hasil bumi, makanan. Selain sisi positif, yang harus menjadi perhatian adalah pengaruh negatif. Seperti bergaya hidup urakan, melanggar tata sopan-santun mewajarkan nilai-nilai yang oleh masyarakat setempat dipandang tabu seperti kumpul kebo, mandi tanpa pakaian, pemakaian narkotika. Nilai-nilai social dalam masyarakat dapat menguap dan masyarakat kehilangan kekuatan untuk mempertahankan batas kewajaran dalam hidupnya.
- Turis mewah, datang dari tour paket wisata yang ketat dan teratur. Terisolir dari masyarakat karena terkurung di hotel berbintang yang sering memonopoli tanah, sumber air, bahan makanan dan listrik. Keuntungan besar diambil para pengolah industri pariwisata.
Meskipun rekreasi dan besarnya keinginan mengetahui tempat-tempat yang di promosikan, seringkali menjadi hal yang utama dalam turisme, sebenarnya esensi dasar dalam sebuah perjalanan yaitu menemukan wajah kehidupan manusia yang berbeda. Hal ini jelas nyata ketika turis menjawab bahwa ia terkesan dengan keramahtamahan dan persaudaraan yang diterima dari masyarakat lokal.
Namun seringkali turisme yang terorganisir melakukan penyelewengan dengan
mengisolir turis elit dari penduduk lokal. Turis tidak bersentuhan dengan
kehidupan masyarakat lokal.
Dampak negatif dari penyelewengan turisme
Beberapa kesaksian korban turisme dari negara dunia ketiga
Filipina : Hotel bertambah dan fasilitas wisata bertambah. Penduduk setempat digusur dengan ganti rugi yang kurang memadai dan kehilangan haknya untuk memanfaatkan lahan. Akibatnya penduduk lokal banyak ke kota menjadi pengangguran dan pengemis dan memadati wilayah kumuh. Pariwisata didengung-dengungkan sebagai sumber penghasil devisa namun kenyataanya turisme menghabiskan dana. Karena keuangan utnuk kebutuhan masyarakat setempat dialihkan untuk sarana pelayanan untuk turis asing. Seluruh industri dikuasai oleh konglomerat asing. Turisme juga menuntut penduduk pribumi untuk bersikap merendah pada turis sekalipun turis berlaku kasar. Pola hidup turis menjadi panutan dan ditiru dan perempuan yang terjepit beban ekonomi dipergunakan menjadi daya tarik turisme.
Pakar membenarkan kesaksian ini dan menambahkan biasanya inisiatif turisme datang dari negara-negara kaya dan mereka yang terus-menerus merubah dan merumuskan industri turisme sesuai dengan kebutuhan namun negara belahan selatan hanya penerima dan pemberi reaksi sehingga pertanyaanya siapa yang mendapat keuntungan?
Untuk orang-orang yang mengklaim bahwa turisme mendukung devisa negara dan membuka lapangan pekerjaan ada pendapat yang berbeda dari Imam yesuit yang menjadi pakar ekonomi. Ia berkata bahwa analisis ekonomi dengan data yang terbukti menghancurkan mitos yang menyatakan turisme menghasilkan devisa bagi negara miskin dan menyediakan lapangan pekerjaan untuk banyak orang. Malahan banyak negara seperti menjual hak kesulungannya/warisannya lalu menggantikan dengan semangkuk bubur kacang.
Dampak lainnya
1. Pelacuran dimana banyak pihak yang bersalah. Oknum pemerintah yang melindungi turisme pelacuran dengan dalih menambah devisa. Perusahaan agen turisme yang mendapat keuntungan akibat daya tarik pelacuran, pemilik bordil mengekploitasi dan hidup dari penghasilan pelacur tersebut serta laki-laki yang mengunjungi rumah bordil untuk mencari kesenangan.
2. Pelacuran kebudayaan terjadi ketika upacara suci adat di lakukan untuk menyenangkan turis dan menghasilkan uang.
3. Perusakan lingkungan hidup. Penebangan pohon dilakukan untuk pembangunan hotel raksasa. Sarana mendesak seperti jalan. Listrik, mata air diprioritaskan untuk turis asing dan tidak memadai lagi untuk penduduk stempat.
Solusi untuk mendatang
- Memperhatikan kualitas hidup negara penerima turis dan kualitas pengalaman turis itu sendiri. Apakah dengan adanya turisme kualitas masing-masing pihak semakin buruk atau semakin baik.
- Turisme untuk manusia bukan manusia untuk turisme. Manusia tidak boleh dijadikan obyek dengan digusur, dilarang untuk mengerjakan lahannya dan memakai sumber daya alam (jalan, mata air, dll), perempuan dieksploitasi untuk menjadi umpan bagi sang turis, dll. Dengan kata lain turisme ada untuk meningkatkan taraf kehidupan baik nilai, ekonomi, budaya bukan sebaliknya yaitu mengorbankan manusia demi kepentingan turisme.
- Masyarakat setempat menjadi penerima keuntungan dan ada kontak langsung turis dengan realita kehidupan masyarakat setempat. Iklan-iklan pariwisata baik untuk menampilkan kondisi masyarakat dengan real. Jadi tidak hanya menampilkan gambar-gambar pantai, gadis cantik yang tersenyum besarnya pantai namun menyertakan sisi kehidupan kongkret masyarakat lokal.
- Mendidik sang turis untuk peka terhadap nilai-nilai budaya setempat.Ada persiapan untuk turis yang akan melakukan perjalanan.Membangun kode etik turism Gereja di Jerman sudah melakukannya dengan mempersiapkan mengajar jemaat tentang nilai-nilai yang dikandung negara yang menjadi tujuan perjalanan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI