Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

"Ngabuburead", Membaca (Kembali) 70 Tulisan Kolom Karya Onghokham

20 Mei 2019   21:30 Diperbarui: 20 Mei 2019   21:49 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Wahyu yang hilang, negeri yang guncang/ dethazyo

Selain mendekatkan diri kepada yang maha kuasa, diri pribadi dalam tiap Ramadan pun turut dekat dengan banyak buku beragam genre. Kalau biasanya dihari biasa, kebiasaan membaca buku perharinya, sampai menyentuh 50 lembar halaman. Berbeda hal kala Ramadan tiba, karena banyaknya waktu luang sehabis kerja, tepat 2 jam sebelum berbuka puasa, maka kini buku bisa dilahap sampai 100 hingga 150 lembar halaman.

Paling tidak, saat jiwa dan raga agak lemas menahan haus dan lapar, nutrisi untuk otak pun terus berjalan. serupa yang diungkap Tan Malaka, "Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi" atau versi MH. Thamrin, "Mahkota-ku buku, bukan baju." Itulah mengapa membaca menjadi aktivitas favorit kala menunggu jam-jam beduk magrib berkumandang.

Kecintaan akan bahan bacaan, ternyata sudah dari dulu terpupuk dalam diri. Bahkan, sebelum mampu membeli buku dengan hasil keringat sendiri, hobi saya ialah mencari koran bekas kala melakukan kunjungan ke kantor dimana orang tua bekerja. Bisa satu, dua, hingga tiga Koran dari media berbeda yang kemudian di angkut ke rumah guna di baca keesokan harinya.

Menariknya, dari moment membaca inilah saya mulai menyukai jenis tulisan kolom. Tulisan yang sering kali ditulis oleh seseorang dengan aspek pengamatan serta pemaknaan terhadap suatu permasalah yang sedang "happening" (bisa juga tidak) didalam masyarakat.

Menurut pengamatan pribadi, alasan kenapa kolom justru tampil menarik daripada jenis tulisan lainnya, terlihat dari siapa "men behind the gun." Olehnya, gagasan tertuang secara apik dalam tulisan dengan ragam problema (pendidikan, sejarah, politik, gaya hidup dan lainnya), sehingga hasilnya akan terasa segar, ringan, memikat, sekalipun masalah yang ulas termasuk dalam kategori serius.

Seiring waktu, tak peduli nama besar, nama kecil, ataupun orang yang belum dikenal sama sekali yang menulis kolom. Hal yang pasti, percaya saja dengan kurasi yang dilakukan oleh media nasional dalam memilih penulis kolom, karena beberapa diantaranya sering kali mampu memikat hati para pembaca dengan gaya khas masing-masing.

Diantara beberapa nama besar yang pernah saya baca tulisan kolom-nya di media nasional seperti Mahbub Junaedi, Goenawan Mohamad, YB Mangunwijaya, Emha Ainun Najib, hingga Sujiwo Tedjo. Nama Onghokham muncul sebagai salah satu yang terbaik, mengapa? Karena pak Ong tak hanya jago prihal membahas sejarah saja, terlebih karena kemampuan beliau menguliti prihal mitos-mitos yang ada ditanah air, beliau-lah jagonya. Setidaknya, itu yang saya dapat kala membaca 70 kolom beliau dari Koran Tempo dari tahun 1976 -- 2003 yang telah dirangkum dalam buku berjudul "Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang."

Membaca seluruhnya dari lembar 1 hingga lembar ke 380 sungguh menarik, banyak fakta yang bersumber dari masa lalu, rasanya patut dijadikan acuan bagi masa depan, yang saya kira masih relevan dibahas hingga masa kini. Rata-rata kolom dapat dikatakan cukup baik, namun kalau diulang semuanya satu persatu tentu akan membutuhkan banyak halaman yang otomatis akan memakan banyak waktu dan cenderung membosan, untuk ukuran review sebuah buku.

Oleh karenanya, saya akan membahas 10 kolom yang menarik versi saya didalam buku ini, mulai dari Wangsit (2002), Raja-raja Jawa dan Islam (1977), Tentang Takhta dan Suksesi (1987), Renungan Mengenai Kelas Berkuasa (1982), Pungli dalam Sejarah Kita (1978), Gaji (dan korupsi) Sepanjang masa (1983), Terbentuknya Kapitalisme di kalangan Peranakan Tionghoa di Jawa (1978), Citra Minoritas Pedagang Sebagai Setan (1984), Bromocorah dalam Sejarah Kita (1983), dan Gelandangan dari masa ke masa (1982).

Wangsit, dalam kolom ini pak ong dengan semangat membedah perkara kekuasaan dan kekayaan yang sering kali dihubungkan dengan hal-hal gaib nan bernuansa mistis. Misal, tentang dongeng mengenai harta karung emas atau intan berlian yang terpendam milik dari kerajaan dimasa lalu, yang senantiasa digaungkan "kalau ada yang menemukan, maka jumlahnya mampu melunasi utang luar negeri Indonesia." Padahal, jika diamati dari zaman dulu hingga sekarang, sistem perpajakan raja tak pernah sempurna. Kalaupun benar, pasti ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) sekarang pasti akan sangat senang ya? Hahahhaa...

Raja-Raja Jawa dan Islam, ketertarikan utama kolom ini terletak bagaimana seorang raja menggiring rakyat, bahwa mereka harus tuntuk dengan dasar raja sering disamakan dengan nabi, karena berdasarkan ideologi Negara, raja pada zaman dahulu (sekarang juga) dianggap terilhami langsung oleh tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun