Pesta demokrasi atau Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah akan dilakukan serentak pada 2024 nanti. Â Maka dalam hal ini Kominfo melihat penting sedari dini Aparatur Sipil Negara (ASN) mempersiapkan dan mengawal pesta demokrasi di ruang digital. Â Langkah ini sebagai antisipasi mengingat saat ini saja dunia maya sudah ramai dibanjiri konten-konten di sosial media menyambut tahun politik.
Sebagai bagian dari masyarakat, perlu ASN sepenuhnya menyadari tidak sekedar mengakses konten, tetapi harus memahami pada aspek keamanan. Â Kemudian tidak kalah penting pilar budaya dan etika. Â Kenapa, sebab ASN memiliki asas netralitas yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 5/2014 tentang ASN. Â
Disebutkan bahwa ASN dilarang menjadi anggota dan/ atau pengurus partai politik. Â ASN pun diamanatkan untuk tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Tetapi, jangan salah paham menterjemahkannya ini menghambat! Â Kita sepakat kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Â Tetapi ingat, ASN adalah tenaga profesional yang menjadi motor pemerintahan. Â Artinya, keberadaannya harus tetap pada kedudukan profesional dan tidak memihak pada kontestan politik yang akan bertanding.Â
Namun dalam perjalanannya kerap ditemui ketidaktahuan/ keterlibatan ASN dalam politik praktis. Â Hal inilah yang masih perlu dibenahi, dan Kominfo mengambil peran membekali ASN dengan empat pilar literasi digital, yaitu:
- Digital skill, atau kemampuan individu untuk mengetahui, memahami dan menggunakan perangkat keras ataupun lunak serta sistim operasi digital
- Digital Ethic, atau kemampuan menyadari, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola beretika di ruang digital.
- Digital Safety, yaitu kemampuan untuk mengenali, menerapkan, serta meningkatkan kesadaran perlindungan data pribadi dan keamanan di ruang digital.
- Digital Culture, yaitu bentuk aktivitas di ruang digital dengan tetap memiliki wawasan kebangsaan serta nilai Pancasila dan kebhinekaan.
Mengatasnamakan demokrasi kerap disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Â Padahal Indonesia adalah negara hukum, yang artinya segala hal tentu memiliki konsekuensi hukum yang mengikat. Â Ironisnya untuk berkesadaran hukum saja masih menjadi perjuangan berat bangsa ini. Â
Apalagi kini jika berbicara fakta masyarakat kita yang merasa ruang digital tidak ada aturannya. Â Padahal tidak berbeda ketika di ruang fisik yang memiliki tata karma dan aturan. Â Maka hal yang sama juga berlaku di ruang digital tanpa terkecuali.
Kenyamanan dunia maya yang tak dibatasi ruang dan waktu ini kerap menyajikan berbagai konten yang menjadi menu harian masyarakat kini. Â Padahal belum tentu konten atau berita yang simpang siur tersebut bisa dijamin kebenaran. Â Tidak hanya itu, terkadang selain hoaks, berita-berita menjelang tahun politik sering kali mendiskreditkan lawan politik tanpa dasar dan fakta yang bisa dipertanggungjwabkan. Â Akibatnya debat kusir dan pertikaian yang berujung permusuhan.
Paham yah, apa jadinya jika ASN yang notabene motor pemerintah ternyata menjadi bagian yang menambah kisruh. Â Apalagi jika ikutan berpolitik dan menjadi "lawan" pemerintah. Â Padahal dirinya (maaf) digaji dan difasilitasi oleh pemerintah. Â Apakah ini tidak kontra? Â Belum lagi jika kita bicara mengenai diskriminatif dalam pelayananan ASN nantinya. Â Dipastikan tidak terhindarkan akan ada kawan dan lawan.
Mari kita ambil contohnya, digital ethic. Â Semisalnya ASN kurang terliterasi dan mudah ikut-ikutan menjadi perpanjangan tangan berita bohong alias hoaks apakah tidak serem nantinya? Â Ngeri sedapnya, bila ASN yang bersangkutan tidak bijak. Â