Bagiku guru adalah sebuah panggilan suci, dan bukan profesi. Â Kenapa aku mengatakan demikian, karena menjadi guru bukan sekedar mentransfer ilmu. Â Tetapi juga mendidik dalam arti membentuk karakter. Â Jika bukan dikarenakan hati, maka ini tidak akan terwujud. Â Terlebih di era semakin kekinian, di mana anak makin kritis.
Mungkin dari sekian perjalananku mengenal guru-guru yang pernah mendampingi kedua remajaku, ada beberapa yang memiliki kesan. Â Tanpa bermaksud aku mengabaikan yang lainnya.
Cerita tentang seorang guru ketika putriku di kelas 6. Â Usia kritis, diantara masih kanak-kanak tetapi mau beranjak menjadi remaja. Â Aku sendiri orang tuanya merasa di usia ini, putriku tanpak ingin menunjukkan dirinya, ini aku, mandiri dan dewasa. Â
Tentang hari itu seperti biasa aku menjemputnya di sekolah. Â Hari yang menjadi luarbiasa akibat ulahnya. Â "Mama, aku tadi usir ibu ... (menyebut namanya) dari kelas," katanya cuek. Â Lalu lanjut pernyataan tak kalah seru pun datang dari rombongan teman sekelasnya yang berebut bercerita.
Jantungku serasa copot, dan mulutku kelu. Â Sementara, tidak aku lihat sedikit rasa takut di wajah putriku. Â "Aku tidak salah," katanya mantap.
Ceritanya hari itu ibu guru ini masuk mengajar di kelas putriku. Â Mungkin suasana hatinya sedang tidak baik, bawaan dari kelas sebelumnya. Â Lalu tanpa alasan bu guru ini berkata amarah, "Jika kalian tidak suka dengan ibu, silahkan keluar dari kelas ini."
Betapa kagetnya kelas putriku, karena mereka tidak ada niat membuat ulah. Â Kalaupun mungkin kelas seolah sibuk sendiri, itu dikarenakan selesai pergantian guru. Â Sehingga anak-anak masih sibuk membereskan buku-buku dari pelajaran sebelumnya.
Entah angin darimana yang berhembus, tetapi dengan kacaunya putriku bersuara. Â "Maaf, ini kelas kami. Â Jadi jika tidak suka, harusnya ibu yang keluar," katanya berujar sambil berdiri.
Masih menurut pengakuan jujur putriku, maka menangislah ibu guru, keluar dan menutup pintu cukup kencang. Â Ngerinya, tidak satupun dari anak-anak mengejar untuk meminta maaf. Â Mengapa aku mengatakan ngeri, karena ibu ini dikenal sangat tegas dan dilabeli "killer" diantara omongan anak-anak.Â
Bayangkan, betapa ngawurnya ulah putriku ini. Â Meski harus aku akui, aku mendidik putriku untuk berani berpendapat jika yakin pada sebuah kebenaran. Â Tidak ada abu-abu, yang ada hanya salah dan benar. Â Bisa jadi, inilah bentuk dari berani berpendapat putriku yang over confidence.