Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernikahan Bukan Perusahaan

10 September 2020   18:36 Diperbarui: 10 September 2020   18:27 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://avrist.com/lifeguide/

Alarm berbunyi tepat pukul 04.00 dini hari. Samar dari kamarku terdengar suara klontang klontang di dapur. Ehhmm...itu pasti ibu, mulai rempong menyiapkan sarapan untuk bapak dan aku. Ibu, wanita itu seolah punya banyak tangan melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu berbarengan.

Aku dimana? Tenang, bagianku menyapu halaman depan sebelum akhirnya suara komando ibu meneriakan, "Denok...ayo sarapan dulu nak.

Sebentar lagi khan PJJ mau mulai. Perutmu itu harus ada isinya, biar nggak masuk angin." Heheh....seperti radio, ucapan yang sama dan urutan yang sama pasti setiap pagi diteriakan oleh wanita yang kucintai itu, ibu.

"Pak, itu kopinya dihabiskan. Maaf, nasi gorengnya nggak pakai telur, telurnya habis pak," begitu kata ibu ke bapak yang bahkan duduk saja belum. Iya, ibu selalu begitu.

Hanya orang lain yang dipikirkannya. Sedangkan dirinya sendiri tak terpikirkan. Bahkan cangkir teh nya saja tak ada di meja, hanya sarapan kami yang tersaji setiap pagi. Gampang, nanti ibu bisa sembari-sembari, begitu selalu katanya kepada kami.

Rutin, hari ini seperti juga kemarin maka sehabis sarapan bapak berangkat kerja. Aku dimana? Aku duduk manis menghadap laptop siap mengikuti PJJ sementara waktu ini. Sementara ibuku, perempuan hebat itu sibuk dengan sayur olahannya. Memasak untuk keluarga yang begitu dicintainya.

Mencuri waktu otakku ini berpikir, betapa jemunya ibu. Hari-harinya serupa tapi tak sama dengan pegawai di sebuah perusahaan. Bedanya ibu tak digaji, meski bekerja 24 jam setiap hari. Rasa bersalah itupun datang, betapa aku dan bapak tak adil selama ini kepada ibu. Meski ibu tak pernah mengeluh sedikitpun.

Tetapi bukankah seharusnya pernikahan itu adalah kebahagiaan? Saat cinta dua anak manusia dipersatukan. Lalu dimana kebahagiaan itu jika hari-hari hanyalah rutinitas yang melelahkan baginya?

Jujur sebagai milenial aku berpikir mending sendiri, ketimbang memasuki pernikahan hanya untuk diperbudak. Diperbudak oleh waktu, dan diperbudak oleh orang-orang yang dicintai. Ehhmm...ogah banget aku.

Inilah yang kerap aku lihat, bukan hanya di depan mataku tetapi juga curhat teman-temanku. Ngerinya, nggak jarang mereka berkata bahwa bapak dan ibunya jarang sekali bercakap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun