Jakarta, 12 Â Juni 2025 -- Di tengah seruan global akan kesetaraan gender dan keadilan dalam rumah tangga, praktik poligami kembali mencuat ke permukaan dan memicu perdebatan. Di satu sisi, poligami dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam yang sah. Di sisi lain, banyak pihak menilai praktik ini sering kali menjadi justifikasi atas dominasi laki-laki dan bentuk ketidakadilan terhadap perempuan.
Pernyataan seorang tokoh agama yang menyebut bahwa "poligami adalah sunah yang ditinggalkan dan sebaiknya dihidupkan kembali" menuai reaksi keras dari publik, terutama dari aktivis perempuan. Ramai sekali di bicarakan di media sosial. Hal ini terbukti dari berbagai kritik yang di cuitkan memperlihatkan resistensi yang kuat terhadap praktik yang dianggap merugikan martabat perempuan.
Secara teologis, Islam memang memberikan ruang untuk poligami. Dalam Surah An-Nisa ayat 3, disebutkan bahwa laki-laki boleh menikahi hingga empat istri, dengan syarat mampu berlaku adil. Namun, keadilan dalam konteks ini bukan hanya bersifat materi, melainkan mencakup aspek emosional, psikologis, dan spiritual. Dimana hal tersebut sangat sulit untuk di terapkan.
Penolakan terhadap poligami tidak datang dari ruang kosong. Semakin banyak perempuan yang menyuarakan pandangannya berdasarkan pengalaman dan kesadaran akan hak-haknya. Poligami sering kali bukan dijalankan karena kebutuhan, melainkan karena keinginan. Ia menilai bahwa praktik ini memperkuat relasi kuasa yang timpang antara suami dan istri, dan tidak sejalan dengan semangat zaman yang menjunjung tinggi kesetaraan gender.
Dari sisi hukum nasional, Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memang masih memperbolehkan poligami, tetapi dengan syarat yang ketat. Seorang suami harus memperoleh izin dari pengadilan agama, membuktikan alasan kuat, serta mendapat persetujuan dari istri pertama. Namun dalam kenyataan di lapangan, banyak pelaku poligami memilih nikah siri untuk menghindari proses hukum, yang justru berpotensi merugikan perempuan dan anak-anak dari sisi hak hukum dan perlindungan administratif.
Sering kali, umat Islam merujuk pada praktik Nabi Muhammad SAW sebagai pembenaran untuk poligami. Namun, Dr. Ahmad Najib Burhani dari BRIN menegaskan bahwa Rasulullah hanya menikah satu kali selama hidup Khadijah, dan baru menikah lagi setelah istrinya wafat.
"Pernikahan Nabi setelah itu bukan soal kesenangan pribadi, tapi karena misi sosial dan politik, seperti melindungi janda sahabat atau mempererat hubungan antar-suku," kata Najib dalam wawancaranya dengan Kompas.com (2024).
Dengan kata lain, poligami yang dilakukan Nabi penuh dengan pertimbangan kemaslahatan, bukan sekadar pemenuhan hasrat.
Banyak laki-laki berdalih menikah lagi karena istri tidak bisa hamil atau sedang sakit. Namun, jika kita tela'ah lagi, alasan seperti itu terlalu dangkal untuk di ucapkan. Karena, alasan itu pada dasarnya memiliki berbagai jawaban yang seharusnya bisa di atasi. Seperti halnya, jika memang saja istri mandul, hal itu bisa di atasi dengan adopsi. Selain itu juga mandul tidak bisa dijadikan alasan untuk seseorang berpoligami. Bagaimana jika keadaan tersebut di balik?
Poligami bukan hanya soal dalil dan hukum, tetapi juga soal pengalaman dan dampak nyata di masyarakat. Semakin kuatnya kesadaran perempuan atas haknya menuntut tafsir agama yang lebih kontekstual, adil, dan berpihak pada martabat manusia. Dalam masyarakat yang terus berkembang menuju nilai-nilai kesetaraan, praktik poligami menimbulkan pertanyaan mendalam: masihkah ia sakral, atau telah berubah menjadi simbol ketimpangan?
Karena pada akhirnya, syariat tanpa keadilan bukanlah cerminan dari nilai Islam yang sesungguhnya. Dalam menghadapi realitas zaman, umat dituntut untuk tidak hanya taat pada teks, tetapi juga peka terhadap konteks.