Mohon tunggu...
Dessy Rahmayanti
Dessy Rahmayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Money

Eksternalitas Negatif Akibat Pandemi Covid-19

27 April 2020   21:09 Diperbarui: 27 April 2020   21:08 1451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Berdasarkan data yang dilansir dari covid19.go.id , virus corona atau COVID-19 tengah menyebar dan menginfeksi lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia. Virus corona pertama kali terdeteksi di negara China pada awal Desember 2019. Kala itu, sejumlah pasien berdatangan ke rumah sakit di Wuhan dengan gejala penyakit yang tak dikenal. Sampai akhirnya saat ini virus tersebut menjadi wabah dan sudah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

            Pemerintah secara resmi mengumumkan wabah virus corona di Indonesia pada awal maret. Sejak virus corona atau COVID-19 mulai mewabah di Indonesia, sejak itulah pemerintah menerapkan social distancing dan mendukung gerakan #DiRumahAja. Pemerintah juga menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya di DKI Jakarta. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)  ditetapkan dalam rangka percepatan penanganan COVID-19 yang kini hari makin banyak kasus yang terkonfirmasi positif COVID-19. Kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19 ini membuat adanya pembatasan untuk kegiatan yang melibatkan banyak orang, seperti kegiatan keagamaan dan kegiatan di tempat umum lainnya. Bahkan, sekolah dan tempat kerja diliburkan sementara sampai keadaan benar-benar membaik. Layanan-layanan penting untuk masyarakat seperti layanan medis dan keuangan masih tetap beroprasi namun dengan ketentuan tertentu. Hal ini dilakukan agar dapat memutus rantai penyebaran virus corona di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk tetap #DiRumahAja, membuat seluruh aktivitas dilakukan secara daring atau online. Mulai dari kegiatan sekolah, bekerja dan membeli kebutuhan sehari-hari. Dalam situasi yang terbatas membuat masyarakat tidak bisa pergi kemana-mana, karena takut terkena virus corona. Namun, disamping itu masyarakat harus tetap memenuhi kebutuhannya untuk bertahan hidup.

            Ditengah pandemi COVID-19 ini selain harus tetap #DiRumahAja, masyarakat juga harus tetap memenuhi kebutuhan hidupnya untuk bertahan hidup. Masyarakat harus tetap berbelanja kebutuhan pokok seperti bahan makanan dan kebutuhan lainnya, untuk bisa tetap bertahan ditengah pandemi ini. Sementara, pandemi COVID-19  ini 'memukul' beragam usaha dari mulai toko tradisional, restaurant, kafe, salon hingga mal. Hanya segelintir yang bertahan karena menyangkut kebutuhan pokok banyak orang. Dalam hal ini, belanja online melalui e-commerce, menjadi salah satu yang diandalkan dalam memenuhi kebutuhan, di tengah keterbatasan. Adanya e-commerce memudahkan masyarakat di tengah pandemi ini untuk berbelanja kebutuhan pokok.

            Disamping pandemi COVID-19 ini memukul beragam kegiatan usaha seperti toko-toko tradisional, tapi justru hal ini tidak dirasakan oleh e-commerce. Pedagang online justru mendapat banyak orderan. Pasalnya, imbauan social distancing dan gerakan #DiRumahAja membuat pelanggan beralih belanja ke platform online. E-commerce dianggap memudahkan masyarakat dalam berbelanja meskipun harus #DiRumahAja. Karena belanja bisa dilakukan sambil duduk dan tinggal menunggu barang yang dibeli diantar sampai ke rumah. Hal ini dibuktikan oleh Senior Vice President Trade Partnership Blibli Fransisca K. Nugraha yang menyebutkan adanya peningkatan transaksi dalam Blibli, terutama untuk produk makanan segar, vitamin, suplemen, dan obat-obatan. Fransisca mengungkap lonjakan mulai dirasakan sejak pemerintah mengimbau masyarakat untuk berada di rumah dan menerapkan kebijakan bekerja dari rumah. Hal yang sama juga dirasakan oleh platform online lainnya seperti tokopedia, lazada, bukalapak dan lainnya.

            Namun ternyata hal ini menimbulkan eksternalitas negatif. Menurut Fisher (1996) mengatakan bahwa eksternalitas sendiri terjadi bila satu aktivitas pelaku ekonomi (baik produksi maupun konsumsi) mempengaruhi kesejahteraan pelaku ekonomi lain dan peristiwa yang ada terjadi di luar mekanisme pasar. Sehingga ketika terjadi eksternalitas, maka privat choice oleh konsumen dan produsen dalam private markets umumnya tidak menghasilkan sesuatu yang secara ekonomi efisien. Dan eksternalitas negative sendiri merupakan hasil kegiatan suatu pihak yang memberikan efek negatif kepada pihak-pihak, baik pihak pelaku kegiatan maupun pihak yang tidak bersangkutan. Meningkatnya konsumsi masyarakat yang bisa memicu panic buying di tengah pandemi COVID-19 termasuk eksternalitas negatif.

Konsumsi masyarakat menjadi meningkat di tengah pandemi COVID-19 ini. Ada beberapa alasan yang menyebabkan konsumsi masyarakat meningkat. Salah satunya, konsumsi masyarakat meningkat karena alasan takut kehabisan dan jika tidak membeli secepatnya ditakutkan harga barang akan naik. Konsumsi yang meningkat, juga bisa memicu terjadinya panic buying, yang khususnya dilakukan oleh masyarakat kelas atas. Menurut Ketua Pusat Krisis UI Dicky Palupessy mengungkapkan perilaku membeli barang secara berlebihan dalam satu waktu atau panic buying di tengah merebaknya wabah virus corona (Covid-19) didasari oleh kecemasan yang tinggi.

             Hal ini bisa dikatakan eksternalitas negatif karena panic buying atau membeli barang dalam jumlah banyak di saat yang bersamaan dapat menyebabkan stok barang menipis, atau bahkan menjadi langka untuk periode waktu tertentu. Hal ini tentunya berdampak buruk bagi sesama pembeli lainnya karena tidak dapat membeli barang yang dibutuhkan akibat stok yang menipis. Selain itu, stok barang yang menipis dan menjadi langka, kemungkinan besar bisa menyebabkan harga barang tersebut naik drastis. Seringkali ditemukan oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang malah mencari keuntungan di tengah pandemi COVID-19 ini. Mereka melakukan penimbunan barang dengan membeli produk dalam jumlah banyak dan menjualnya dengan harga lebih tinggi ketika produk mulai sulit untuk didapatkan. Hal macam ini juga tentunya akan merugikan banyak orang yang membutuhkan barang tersebut tetapi harus merogoh kocek lebih dalam hingga dapat berpengaruh buruk pada kondisi keuangannya. Mungkin hal ini tidak akan menjadi masalah bagi masyarakat ekonomi kelas atas, namun bisa menjadi ancaman bagi masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah, karena pendapatan mereka berkurang akibat pandemi ini dan diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini, sementara harus tetap memenuhi kebutuhannya untuk bertahan hidup. Seharusnya, di tengah situasi seperti ini kita harus menjadi pembeli yang bijak dan mengkonsumsi sesuatu sesuai kebutuhan saja.

           

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun