Pendahuluan
Pernahkah Anda memasuki sebuah pura di Bali? Bangunannya tidak hanya indah, tetapi juga menyatu dengan alam. Pura sering dibangun di tempat yang memiliki makna kosmologis---di pegunungan, dekat sumber air, atau di tengah desa---sebagai simbol keterhubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan. Inilah perwujudan nyata dari Tri Hita Karana (THK), falsafah hidup masyarakat Bali yang berarti "tiga penyebab kebahagiaan": hubungan harmonis dengan Tuhan (Parahyangan), dengan sesama (Pawongan), dan dengan alam (Palemahan).
Falsafah ini tidak hanya hidup dalam praktik keagamaan, tetapi juga meresap ke dalam arsitektur, tata ruang desa, hingga dunia pendidikan. Dalam konteks modern yang diwarnai oleh krisis ekologis, degradasi moral, dan tantangan globalisasi, penerapan THK kembali menemukan relevansinya. Arsitektur berkelanjutan dan pendidikan berbasis nilai THK bisa menjadi jembatan menuju kehidupan yang lebih harmonis. Artikel ini membahas bagaimana THK diimplementasikan dalam dua ranah penting: arsitektur dan tata ruang serta pendidikan, yang keduanya berperan besar dalam membentuk masa depan manusia dan lingkungan.
Latar Belakang Masalah
Krisis ekologis menjadi tantangan serius dunia modern. Data United Nations (2023) menunjukkan lebih dari 55% populasi dunia kini tinggal di kawasan perkotaan, memunculkan tekanan besar pada ruang hidup, infrastruktur, dan lingkungan. Urbanisasi yang tidak terkendali menyebabkan masalah polusi, kemacetan, hingga banjir. Di sisi lain, perkembangan arsitektur modern seringkali menekankan estetika dan fungsi praktis, tetapi mengabaikan keberlanjutan serta keseimbangan ekologi.
Tak kalah penting, pendidikan di era digital menghadapi dilema baru. Siswa mudah mengakses informasi, namun nilai-nilai kearifan lokal dan karakter seringkali terpinggirkan. Fenomena menurunnya etika sosial, individualisme, dan kurangnya kepedulian terhadap lingkungan menunjukkan bahwa pendidikan formal belum sepenuhnya menanamkan keseimbangan spiritual, sosial, dan ekologis.
Di sinilah Tri Hita Karana menemukan perannya. Dalam arsitektur dan tata ruang, falsafah ini mendorong desain yang ramah lingkungan dan selaras dengan budaya. Sementara dalam pendidikan, THK bisa menjadi dasar pembentukan kurikulum yang tidak hanya berorientasi pada akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan harmoni hidup. Dengan demikian, implementasi THK pada dua sektor ini bukan sekadar idealisme, tetapi kebutuhan nyata untuk menjawab tantangan zaman.
Pembahasan
1. THK dalam Arsitektur dan Tata Ruang
a. Filosofi Arsitektur Berbasis THK