Mohon tunggu...
Dery Dirmanus
Dery Dirmanus Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Ritapiret

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hermes dan Homo Digitalis di Tengah Demokrasi: Siapa Percaya Siapa?

28 September 2020   09:41 Diperbarui: 28 September 2020   09:47 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam mitologi Yunani, konon dikisahkan tentang seorang Dewi Yunani bernama Hermes. Beliau kerap kali diparalel dengan pemberi kabar atau pembawa informasi bagi warga negara Yunani seluruhnya. Yang menarik ialah bahwa dewi tersebut membawa berita dalam dua macam. Pertama, berita antropologis. 

Berkaitan dengan berita antropologis ini, konon ia selalu menggunakan nalarnya sebagai dasar berspekulasi dan basis dari setiap argumentasi berita yang ia bawa. Pada titik ini, informasi yang disampaikan biasanya selalu bersandar pada akal dan ilmu pengetahuan yang ia punya.

Kedua, berita teologis. Pada berita bercorak teologis, beliau acap kali memulai berita tanpa menggunakan perspektif nalar atau akal pribadi, namun murni memakai nurani dengan bantuan Sang Langit. Uniknya, Sang Langit pada saat itu telah menjadi Wujud Tertinggi bagi orang-orang Yunani.  Konsekuensinya jelas. Secara absolut, mereka menggunakan nurani dalam membaca semua revelasi  yang disampaikan Sang Langit melalui pemberitaan sang Dewi Hermes tersebut.

Dari dua macam pemberitaan Hermes, hemat saya ada satu benang merah yang mau diambil dan mesti digali secara mendalam lagi. Pengambilan dan penggalian atas pemberitaan Hermes lebih saya kerucutkan ke dalam konteks demokrasi Indonesia di tengah publik digitalis saat ini. 

Lebih dari itu, hemat saya demokrasi kita sampai sekarang ini pun masih problematis, sebab sifatnya yang masih paradoks, entahkah berdemokrasi ala publik digitalis memakai kaca mata nurani, ataukah berdemokrasi dengan berperspektif nalar yang sehat dari masing-masing publik digitalis itu sendiri. Pada titik ini, benang merah yang mau ditarik ialah soal apakah kita masih bisa diterima secara publik dengan berdemokrasi berbasis nurani ataukah terus bertumbuh dalam kelas nalar yang sehat pada ruang digitalis  di zaman sekarang.

Hemat saya, mestinya dua hal di atas berjalan sinergis dan harus paralel dalam konteks bangsa kita yang berdemokrasi di tengah massa yang pluralis. Akan tetapi, hal miris terkuak, poin demokratis sebagai sebuah negara Indonesia yang legitim tercerabut dalam pangkuannya yang bebas opini. 

Pada kasus influenzer yang dikucur dana Rp90 miliar misalnya, poin paradoks demokrasi itu pun semakin kekinian dan an sich terisolasi dalam balutan oligarki,  pihak nomor dua yang hemat saya digadang sebagai dalang penggodokan dana tersebut. 

Pada poin ini, saya mencoba menggiring cara berpikir kita lebih kepada bagaimana kita bernalar secara sehat dengan meminggirkan dulu nurani kita sendiri. Di sini, kita semua sebagai publik digitalis mestinya ditantang dan dirangsang untuk berdemokrasi secara akal atau nalar sehat. Soal nurani mestinya dinomorduakan dulu, yang menjadi prioritas ialah harusnya yang bertalian dengan nalar kita sendiri. Mengapa demikian?

Pertama, nalar itu penting dalam konteks demokrasi karena ia tidak terikat pada sikap ketakutan. Ia justru berani bahkan dengan menelanjangi pemerintah yang gagap realisasi janji politisnya sekalipun di tengah publik digitalis. Sebagaimana Gerung, akal atau nalar yang sehat sejatinya membantu semua warga negara dalam bertengkar secara adil dan murni di meja demokrasi. Jadi, segala yang bersifat nalar, pengetahuan dan yang ilmiah mestinya selalu diletakkan di atas meja politik. Pada titik ini, kita diajak untuk berdemokrasi memakai baju akal budi atau nalar itu.

Ambil misal, pada pemilu kita yang menjadi calon pemilih digitalis diajak menggodok cara berpikir rasionalis, menggunakan akal budi sebagai instrumen penilaian atas kinerja petahana dan parameter dalam menginterpretasi janji politis calon politik. 

Hal ini urgen, mengingat kualitas nalar atau cara berpikir kita semakin diangkat jika hal ini menjadi pasti di permukaan media digitalisasi saat sekarang. Dengan demikian, pengucuran dana Rp90 miliar kepada influenzer seperti di atas pun semestinya tidak pernah terjadi bila akal bekerja atau nalar kita bertindak atas kebijakan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun