Mohon tunggu...
Deomedes Rosarivia Vietnabarga
Deomedes Rosarivia Vietnabarga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

subjektif adalah kebenaran di mata penulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyimpangan Adat dan Budaya Perkawinan dalam Novel Siti Nurbaaya

29 November 2022   07:00 Diperbarui: 29 November 2022   07:11 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. Namun itu merupakan definisi yang telah terpengaruh seiring dengan berkembangnya zaman, sehingga pengertian, pemahaman atau anggapan dari masyarakat zaman dulu dengan zaman sekarang terhadap sebuah perkawinan akan berbeda jika dibandingkan. 

Sebagai contoh, pengertian atau pemahaman masyarakat Padang mengenai perkawinan dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli terlihat berbeda dengan pemahaman mengenai perkawinan yang ada pada zaman sekarang. Hal itulah, yang menyebabkan topik ini menarik untuk dibahas, mengenai perbedaan apa saja yang membedakan antara perkawinan zaman dahulu serta “Adat dan Budaya Perkawinan Padang” pada novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli dengan perkawinan pada umumnya.

Salah satu faktor utama penyebab hadirnya masalah ini adalah kentalnya patriarki yang masih berlaku pada zaman itu dan diperlihatkan Marah Rusli lewat kehadiran banyak tokoh laki-laki dalam novel tersebut. Apalagi, tokoh-tokoh lelaki pada novel tersebut diceritakan memiliki kedudukan serta pandangan yang lebih tinggi dibanding wanita, memiliki istri yang banyak dan mendapat perlakuan khusus sebagai laki-laki, salah satu bukti konkritnya yaitu banyak kaum perempuan yang tidak dapat mencicipi bangku sekolah. Beberapa alasan tersebut menjadi penyebab mengapa perempuan bisa “dianggap” lebih rendah derajatnya dibanding laki laki, dan karena itulah hanya lelaki yang dapat perlakuan khusus terutama dalam berumah tangga. Dalam novel ini, perkawinan seringkali dibahas oleh Siti Nurbaya, ia seringkali membahas mengenai “kodrat” perkawinan yang sebenarnnya.

Adat dan Budaya Perkawinan pada novel Siti Nurbaya memiliki perbedaan yang signifikan dengan perkawinan yang ada pada zaman sekarang. Kebanyakan, kita melihat dalam perkawinan modern atau dalam beberapa perkawinan daerah, pihak perempuanlah yang dilamar oleh laki laki. Namun hal sebaliknya terjadi di dalam novel ini, dituliskan bahwa laki-lakilah yang dipininang oleh pihak perempuan serta kehidupan suami dan anak yang menjadi tanggungan dari perempuan pula. Tentu ini menjadi keanehan dan menjadi perbedaan yang tidak biasa bagi kita, mendengarnya saja kita bisa tahu bahwa kodrat perkawinan yang ada di Padang pada zaman dahulu salah dan tidak boleh diteruskan.

Ketidaksetujuan penulis akan adat dan budaya ini ditunjukkan melalui penggambaran tokoh Ahmad Maulana, Ayah dari Alimah dan Ayah Muda Siti Nurbaya. Di halaman 249 hingga halaman 260, Ahmad Maulana banyak berkeluh kesah mengenai adat-adat, kebiasaan serta kesalahan-kesalahan yang ia temui di Padang. Ia sadar bahwa laki laki tak boleh mendapat perlakuan yang berlebihan, terutama dalam hal perkawinan. Ia pun tak setuju dengan lelaki yang memiliki istri yang banyak dan tiada kerja, sedangkan hidupnya sudah ditanggung oleh istrinya.

Merujuk pada diskusi antara Sutan Mahmud dengan kakaknya di awal cerita, dapat disimpulkan bahwa pernikahan seorang perempuan bergantung terhadap Mamandanya dalam mencarikannya jodoh, seperti perlakuan Sutan Mahmud terhadap kemenakannya Rukiah. Bahkan, Sutan Mahmud rela berhutang ke datuk meringgih untuk bisa membiayai pernikahan kemenakannya tersebut. Disebutkan pula bahwa pihak laki laki dapat meminta uang jemputan dari pihak perempuan. “Kelucuan” adat yang satu ini membuktikan betapa membeloknya kodrat adat perkawinan yang sebenarnya dengan adat perkawinan yang ada dan terjadi dalam novel tersebut.

Bukankah laki-laki memiliki fisik yang lebih baik dibanding perempuan? Lalu mengapa malah ia yang dilamar dan meminta uang jemputan? Bukankah terbalik? Ditambah lagi, penghidupan laki laki sudah ditanggung oleh sang istri, sehingga ia boleh bila tak bekerja. Lalu, kenapa anak orang (saudara) pula yang menjadi tanggungan kita sebagai paman, bukankah itu merupakan kewajiban seorang orangtua untuk dapat mencarikan pasangan dan membiayai pernikahan anaknya sendiri?. Adat perkawinan dalam novel ini telah membelok dan berbanding terbalik dengan kodrat perkawinan yang sebenarnya. Kentalnya patriarki dan kurangnya pendidikan yang diemban seorang perempuan membuat adat ini terus ada dan tak mudah digusur, seperti yang dikatakan oleh Ahmad Maulana.

Masih ada juga budaya beristri banyak oleh pihak laki-laki dan pelimpahan tanggung jawab terhadap suami dan anak yang hanya dipikul seorang diri oleh seorang ibu menjadi kekurangan dalam budaya ini. Laki-laki dapat terus melakukan perkawinan tanpa harus memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya kepada para istri mereka dan para istri tidak dapat melakukan apa-apa jika dimadu oleh suaminya. Perceraian hanya bisa dilakukan oleh laki laki, jika ia tak mau bercerai maka tak cerailah mereka. Itulah masalah besar yang tak dapat dibiarkan, karena hanya menguntungkan satu belah pihak dalam perkawinan.

Apalagi seorang ibu menjadi memiliki tanggung jawab yang besar dalam keluarga, terutama terhadap suami dan anaknya. Mulai dari mengurus kehidupan sehari-hari anak dan suami, hingga mencari dan menyiapkan uang belanja merupakan tugas yang harus bisa dilakukan seorang ibu. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kedua budaya perkawinan ini tiadalah yang benar dasarnya, karena hanya menguntungkan sepihak saja, yaitu pihak laki-laki.

Dengan semua pertimbangan yang ada, terutama isi novel yang telah menceritakan dan menggambarkan sisi buruk perkawinan di Padang pada masa tersebut, “Adat dan Budaya Perkawinan dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli” dapat dikatakan banyak mengandung kesalahan, keburukan dan telah menyimpang jauh dari esensi perkawinan yang sebenarnya. Baik dari adat yang dilakukan mulai dari lamaran dan juga jemputan dari pihak wanita, seorang Paman yang harus ikut campur dalam mencarikan keponakannya jodoh hingga sistem berumah tangga yang memberatkan dan menyiksa perempuan. Beruntung seiring dengan berkembangnya zaman, perkawinan yang ada di Padang saat ini sudah tidak sepenuhnya mengikuti adat dan tradisi yang lama serta lebih mengutamakan perkawinan sebagai kesejahteraan sebuah pasangan bukan malah memberatkan salah satu pihak. Sekarang, menjadi tugas kita sebagai masyarakat untuk menjadi pintar dan selektif dalam menerima serta memilih adat dan tradisi yang berguna bagi banyak orang, bukan untuk segelintir orang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun