Mohon tunggu...
Densa Story
Densa Story Mohon Tunggu... Penulis - Content Creator

Seorang yang ingin belajar kreatif, melalui tulisan yang edukatif, sehingga dapat menginspirasi banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Orang Sudah Tidak Percaya Virus Corona?

28 November 2020   12:53 Diperbarui: 28 November 2020   12:55 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Virus Corona (sumber: detiklnet)

Di akhir Januari 2020, kita dihebohkan dengan situasi Kota Wuhan. Beberapa orang di kota itu secara mendadak tersengal-sengal, lalu jatuh dan masih tersengal-sengal, bagaikan ikan hidup yang diletakan di daratan. Orang-orang di sekitarnya menjauhkan diri dari orang yang bergejala seperti itu, seakan orang tersebut najis. Mereka minta bantuan tenaga medis berpakaian hazmat, berkacamata renang, dan bermasker. Karena lama tak kunjung datang tim medis, orang yang mengalami sekarat maut dengan tersengal-sengal itu akhirnya tak bisa bernafas lagi, paru-parunya tersumbat atau penuh lendir yang dirangsang oleh virus jenis baru itu, lalu mereganglah nyawa orang itu. Jiwanya langsung dihakimi saat itu juga di alam baka, sedangkan raganya dibiarkan tergeletak sampai diangkut oleh tim medis.

Makin lama, semakin banyaklah orang yang sakit begini, hingga rumah sakit menjadi penuh. Ada yang mati di lorong rumah sakit, di ranjang rumah sakit, atau di jalan-jalan, atau dimanapun mereka berada dan tiba-tiba bergejala sesak nafas. Mayat-mayat yang najis karena virus yang sangat menular dan mematikan itu dibakar dalam oven kremasi, tanpa peti, tak henti-hentinya, sudah tak didoakan lagi, langsung dibakar hingga menjadi abu tulang. Kota Wuhan yang bak Jakarta itu menjadi kota mati, entah karena banyak yang mati dan berdiam diri di tempatnya masing-masing.

Hal yang mirip juga terjadi di Roma, Italia. Tiba-tiba kota yang menjadi pusat wisata dunia itu jadi kota mati. Banyak orang tersengal-sengal lalu meregang nyawa. Bapa Suci di Vatikan sampai harus mengeluarkan “jurus gaib” untuk memohon mukjizat Tuhan supaya malapetaka yang seakan pertanda kiamat ini dapat berlalu. Vatikan memajang salib sakti dari tahun 1500 yang pernah ampuh melenyapkan wabah di Roma kala itu. Bapa Suci pun memberkati kota Roma dan dunia dengan Sakramen Mahakudus, yang merupakan berkat tertinggi daripada berkat menggunakan tangan, sebab Yesus sendiri dalam rupa Tubuh-Nya yang memberkati kota dan dunia, dibarengi kepulan asap dupa yang membumbung tinggi, diiringi tangisan hujan deras dari langit dan dentangan lonceng basilika.

Indonesia baru kedatangan tamu virus Corona di tanggal 2 Maret 2020. Sejak itu, seluruh orang-orang Indonesia panik luar biasa. Beberapa orang yang pernah bermusuhan tiba-tiba jadi baik, minta dimaafkan sebelum dihakimi di hari kiamat yang mendekat ini. Tanpa disuruh Pemerintah, orang-orang berbondong-bondong beli masker, hand sanitizer, vitamin, pemutih pakaian, karbol, dan memborong makanan sampai ludes.

Tanpa disuruh Pemerintah, orang-orang Indonesia, dari kaya sampai yang miskin semuanya pakai masker, semuanya bawa hand sanitizer. Karena perilaku masyarakat yang demikian, harga masker bedah yang awalnya Rp. 1.000,-/lembar jadi naik sampai Rp. 15.000,-/lembar. Masker N95 yang dikatakan paling ampuh untuk menangkal virus Corona jangan ditanya lagi harganya. Meskipun mahal, orang membelinya sampai akhirnya masker yang awalnya sepele ini punah seketika. Pemerintah pun mengatakan agar orang sehat tak perlu pakai masker. Utamakan masker untuk yang sakit dan tim medis. Rakyat tidak peduli, pokoknya meskipun sehat harus pakai masker.

Setelah beberapa lama, Pemerintah mewajibkan semua orang pakai masker kain, supaya masker medis yang mulai muncul tapi masih mahal itu diutamakan untuk tim medis. Orang-orang mulai pakai masker kain, dengan segala motif dan model. Pemerintah mulai membuka kembali tempat-tempat usaha dengan menerapkan protokol kesehatan.

Tapi kini, orang-orang menengah ke bawah sudah tidak pakai masker, tidak jaga jarak, tidak cuci tangan. Alasannya sederhana, “Saya tidak percaya ada Corona. Lihat di pasar-pasar, tempat ibadah, dan di pusat keramaian, orang berjubel, jorok-jorokan, tidak ada tuh yang tiba-tiba jatuh sesak nafas, apalagi sampai mati di tempat. Warteg-warteg, gerobak makanan kaki lima, yang pegang uang lalu pegang makanan, terus makanannya dimakan sama pembeli. Pembeli pun makannya pakai tangan, tidak ada cuci tangan, boro-boro pakai hand sanitizer, paling bersih juga pakai kobokan. Tidak ada tuh pembeli yang tiba-tiba jadi sesak nafas terus pingsan atau mati. Artinya tidak ada yang namanya virus Corona!” demikian kata beberapa responden.

Apa yang dikatakan oleh responden itu memang benar secara kenyataan dan tak bisa dibantah. Setiap hari, Pemerintah hanya memberikan angka-angka saja tentang jumlah orang yang tertular. Hingga Jumat, 27 November 2020, tercatat ada 5.828 orang yang tertular virus Corona di Indonesia, hampir 6.000 orang/hari. Bila melihat data ini, sungguh mengerikan keadaan ini. Tapi secara kenyataan, di antara orang-orang yang menengah ke bawah, yang hidupnya sama sekali tak pernah menerapkan protokol kesehatan, tidak ada yang sakit Corona apalagi sampai mati. “Kami kalau flu, yang beli obat di warung, sembuh. Batuk, ya beli obat batuk.

Demam, ya beli obat demam, sembuh. Biasa-biasa saja, penyakit ini kan sudah ada dari dulu. Nggak ada trus sesak nafas lalu meninggal. Makanya kami tak percaya virus Corona.” Ungkapnya. Ada lagi yang berkata, “Kita diberi oleh Allah udara yang segar, binatang dan tumbuhan menghirupnya, masa kita manusia harus dibekeum pakai masker? Itu tandanya tidak bersyukur atas pemberian Allah.”

Memang, bila penulis amati dan ketahui, banyak dari kenalan penulis seperti: pemilik warung, pemilik warteg, pemilik makanan kaki lima, tukang sampah yang kerjanya harus jorok-jorokan; tidak ada satu pun dari mereka yang terkena Corona. Justru malah para pejabat, kenalan penulis yang hidupnya bersih, steril, kalau pegang uang saja harus pakai capit, beli makanan di luar harus bungkusnya di oven supaya steril, ada juga kenalan penulis yang sering cuci tangan berkali-kali, pakai masker sampai berlapis-lapis, pokoknya mereka yang hidupnya menerapkan protokol kesehatan, malah sakit Corona. Aneh tapi nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun