"Ya, ampun ibuuuu, " Sahut saya sambil memeluk ibu.Â
Ibu. Apa-apa selalu ingat akan anaknya. Meski si anak sedang tidak di rumah. Meski si anak sedang di luar kota. Apa yang ibu dapat akan diutamakan untuk anak.Â
"Aku suapin ya, Bu? Mumpung hangat," Kata saya usai menggoreng lumpia.Â
"Enggak usah. Buat kamu saja. Kalau ibu mau sudah dari kemarin-kemarin ibu goreng. "
Perasaan saya terasa sesak akibat rasa haru. Sementara saya menikmati lumpia hangat oleh-oleh dari Semarang. Ibu menatap saya sambil tersenyum. Menyiratkan rasa bahagia melihat sang anak menikmati jajanan yang disukai.Â
Lumpia. Makanan khas Semarang. Berupa gulungan dengan isian berupa campuran rebung, telur, dan daging ayam. Dibungkus tipis lalu digoreng dan dinikmati saat hangat. Bisa dinikmati dengan saus dan acar atau cabai rawit saja.Â
Lumpia Semarang sudah ada sejak abad ke-19. Rasanya yang gurih-gurih manis bukan tanpa alasan. Hal tersebut merupakan refleksi dari perpaduan budaya Tionghoa dan budaya Jawa.Â
Awalnya lumpia adalah jajanan yang banyak dijumpai di Semarang. Lumpia yang buatan orang Tionghoa cenderung gurih karena berisi rebung dan daging babi. Sementara lumpia buatan orang asli Semarang cenderung manis. Isiannya berupa rebung dan udang.Â
Kedua kultur tersebut dipadukan dan menghasilkan lumpia Semarang yang kita kenal sekarang. Saya sebagai pecinta kuliner tak pernah melewati jajanan khas macam ini bila sedang berada Semarang.Â
Dan ibu tahu betul kebiasaan anaknya. Sehingga dengan penuh cinta diberikannya makanan yang buat si anak memiliki cerita tersendiri. Meski hanya sepotong lumpia tapi bagi ibu seperti membawa saya jalan-jalan ke Semarang. I love you ibu. (Denik)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI