Banjir awal tahun 2020 menjadi momen yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup. Bagaimana tidak? Selama hampir 40 tahun tinggal di daerah yang ditinggali saat ini, baru kali itu mengalami kebanjiran hingga setinggi dada.
Tentu bukan main shocknya ketika musibah banjir itu datang. Sebab lingkungan tempat tinggal bukan dataran rendah. Bukan juga di daerah yang dekat dengan aliran sungai. Atau dekat dengan got besar sebagai saluran pembuangan air utama. Tidak sama sekali.
Saat itu usai salat subuh ketika melihat air masuk ke dapur dari kamar mandi. Air terus mengalir menuju ruangan lain. Menyadari bahwa rumah kemasukan air meski baru semata kaki, tindakan pertama segera menaikkan barang-barang penting ke atas lemari. Terutama buku-buku dan benda elektronik yang ringan.
Semakin lama air yang masuk terasa semakin tinggi. Sudah sampai ke betis. Tetangga pun sudah mulai terdengar teriakan-teriakannya. Ini benar-benar kebanjiran namanya. Bukan sekadar air yang merembes ke dalam. Â Apalagi hujan di luar belum reda juga.Â
Semua terjadi begitu cepat. Dalam posisi sedang menaikkan barang ke atas lemari. Ketinggian air sudah mencapai pinggang. Disusul tergulingnya kulkas dan perabot lain di dapur. Seketika rasa panik menyeragap memikirkan nasib barang-barang yang baru diselematkan.
Rasanya percuma saja meletakkan barang-barang tersebut di atas lemari. Bisa jadi lemari berikutnya akan menyusul terguling. Harus segera melakukan sesuatu. Tiba-tiba melihat paku dan palu yang tergeletak di atas lemari. Bekas memajang foto dan lupa mengembalikannya lagi.Â
Dengan memanjat kursi yang dirasa kokoh, segera tercetus untuk memaku tembok-tembok bagian atas lainnya. Kantung kresek alias kantung plastik segera dikeluarkan dari ransel bepergian yang sudah berada di atas lemari. Berguna juga kebiasaan menyelipkan kantung plastik di ransel.
Kemudian buku-buku, kain batik dan barang-barang penting lainnya dimasukkan ke dalam kantong kresek tersebut. Lalu menggantungnya di tembok yang tadi dipaku. Demikian ini membuat barang-barang tersebut lebih aman asal banjirnya tidak sampai ke atap. Kalau seperti itu lain ceritanya.Â
Benar saja. Tak berapa lama lemari-lemari lainnya bergulingan satu per satu. Pasrah. Itu yang segera ditanamkan dalam hati. Jika tidak begitu bisa membuat stress jiwa. Mau bagaimana lagi? Ini musibah yang tidak bisa dielakkan. Apalagi diantisipasi. Semua begitu mendadak dan sangat cepat kejadiannya.Â
Ketika aliran listrik mulai padam dan air semakin tinggi, tidak mungkin tetap bertahan di rumah. Akhirnya terpaksa mengungsi di tempat yang aman sambil menunggu hujan reda. Tak lupa sambil membawa barang-barang penting yang tadi digantung. Untuk berjaga-jaga kalau airnya akan naik terus sampai setinggi atap.
Sebab hujan belum reda sementara airnya sudah setinggi dada. Ya sudah. Harus ikhlas meninggalkan rumah. Mau bagaimana lagi? Setidaknya agak merasa lega selama mengungsi. Karena barang-barang penting sudah terselamatkan.Â