Mohon tunggu...
Deni Firman Nurhakim
Deni Firman Nurhakim Mohon Tunggu... Penulis - Santri dengan Tugas Tambahan sebagai Kepala KUA

Penghulu Kampung yang -semoga saja- Tidak Kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tahun Baru: Banyak Harapan, Sedikit Rasa Takut

1 Januari 2012   10:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:29 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13254141011303241521

Setiapkali kata “baru” ditempelkan pada sesuatu, ia akan menumbuhkan harapan-harapan. Contoh, “Pemimpin Baru”. Saat kita mendengar kata tersebut, muncul harapan ia bisa membawa rakyat yang dipimpinnya mencapai tarap kehidupan yang lebih baik dibandingkan pemimpin sebelumnya. “Pekerjaan Baru”, saat kita memulainya timbul harapan pekerjaan tersebut lebih menjanjikan kesejahteraan dibandingkan pekerjaan sebelumnya. Begitu pula, “Tahun Baru”. Ia menumbuhkan tunas-tunas harapan: harapan lebih maju, lebih sejahtera, dan lebih berkah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, sebagaimana dimaklumi, harapan-harapan itu tidaklah selalu mewujud menjadi kenyataan. Di awal tahun 2011 lalu misalnya, yakin, semua orang melantunkan doa dengan berjuta harapan. Dan kini kita menyaksikan, tidak semua harapan yang telah dipancangkan tadi berbuah kenyataan. Benar, manusia boleh berharap, tapi Allah lah yang menentukan. Namun, menjadi salah besar bila kegagalan kita mewujudkan harapan-harapan tersebut sepenuhnya ditimpakan pada takdir Allah. Karena sebagaimana yang kita yakini, kualitas usaha yang dilakukan pun memiliki andil di dalamnya. Merujuk Q.S. Al-A’raf:56, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan untuk kesempurnaan ikhtiar kita dalam mewujudkan harapan-harapan di tahun baru ini. Pertama, “wa laa tufsiduu fil ardhi ba’da ishlaahihaa” (setelah dibenahi, jangan dirusak!). Melalui ayat ini, Allah memerintahkan kita semua untuk berbuat kebajikan di manapun kita beraktifitas: di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja. Dalam bahasa agama, berbuat kebajikan itu adalah IHSAN. Ihsan itu bukan sekadar kebajikan biasa. Ia adalah puncak kebajikan. Kata ini, menurut Quraish Shihab (2011:29), lebih tinggi dan mendalam maknanya daripada kata ADIL. Karena ihsan “memperlakukan seseorang jauh lebih baik daripada perlakuannya terhadap kita”; “memberi lebih banyak daripada yang harus kita berikan dan mengambil lebih sedikit daripada yang seharusnya kita ambil”. Singkatnya, ia adalah perilaku mulia (akhlaqul karimah). Kedua, “wad’uuhu khoufan wa thoma’a” (berdoa dengan penuh rasa takut dan harap). Kebanyakan, berjuta resolusi yang dilafalkan di awal tahun, ia hanya penuh berisi harapan-harapan namun hampa rasa takut kepada Allah. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin Allah SWT mengabulkan doa-doa tersebut. Kedua hal di atas bila dilakukan secara sinergis menjadikan pelakunya tergolong ke dalam kelompok muhsinin, orang-orang yang melakukan puncak kebajikan. Dan sebagaimana penutup ayat ini, “inna rohmatallaahi qoribun minal muhsiniin”, bagi mereka ini rahmat Allah sangatlah dekat. Harapan-harapan pun mudah mewujud menjadi nyata. Dan kalaupun tidak, ia tetap menjadi rahmat, BUKAN azab. Wallahua’lam bis Showab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun