Mohon tunggu...
Delicia
Delicia Mohon Tunggu... profesional -

GP, White Lily

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dokter Umum Kuliahnya S1, S2 atau S3 sih?

11 September 2015   07:06 Diperbarui: 4 April 2017   17:09 18890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anda mau menjadi dokter atau anak anda hendak anda sekolahkan di kedokteran? Banyak perguruan tinggi terbuka untuk anda. Selain otak harus encer, katanya kantong juga harus tebal. Bukan sekedar katanya, tapi memang kurang lebih begitulah...lain hal ketika saya di tahun 2000 masuk fakultas kedokteran, uang masuk masih 20 juta waktu itu dengan SPP 300 ribuan tiap bulannya. Tapi kalau kini, mungkin tidak dapat lagi menjumpai hal demikian.

Tahukah anda bahwa untuk menjadi dokter yang setaraf dengan S1 bukan hanya butuh biaya yang tidak sedikit namun butuh waktu yang panjang yaitu kurang lebih 8,5 tahun (itu kalau lancar)?. Perkuliahan di kampus kedokteran (preklinik) 4 tahun, koas di Rumah sakit 2 tahun, selesai itu menunggu 3 bulan untuk ikut ujian kompetensi dokter Indonesia (UKDI). Hasil UKDI keluar setelah 2 bulan (itu kalau lulus), kemudian mengurus STR (Surat Tanda Registrasi) paling cepat 1 bulan baru keluar. Setelah STR keluar baru kemudian lanjut mengikuti Internship selama 1 tahun, dan untuk mendapat tenpat Internship dibutuhkan waktu 1 tahun. Jadi untuk menjadi dokter yang mengantongi SIP (surat izin praktek) dibutuhkan waktu 8,5 tahun. Sungguh waktu yang melelahkan. Setelah mengantongi surat izin barulah seorang dokter boleh praktek.

Jadi untuk menjadi dokter umum itu kuliahnya S1,S2 atau S3?, tetap S1 meskipun memakan waktu panjang hampir setara S3 jurusan lain. Lika-liku menjadi dokter dengan sendirinya mengasah kesabaran termasuk orangtuanya yang menyekolahkan anaknya di kedokteran. "Kenapa lama sekali nak?". "Yah memang begitulah prosedur yang harus dilewati di negeri kita ini, mau apa lagi?".

Sakit, manis dan pahit semua ditelan sendiri. Tidak perlu usaha mati-matian menjadi dokter, tapi lumayan setengah mati. Orangtua yang tahu kenyataan ini, tak jarang yang mengalihkan tabungannya untuk menyekolahkan anaknya di jurusan lain, seperti kebidanan, farmasi dan lain-lain. Apakah kedepan tidak akan timbul kesenjangan?. Saya tidak tahu pastinya, dengan sistem kesehatan yang ada sekarang dokter sebagai pelaksana pelayanan kesehatan di garis depan (ujung tombak) dihadapkan pada berbagai masalah, antara menjalankan kewajibannya secara profesional sesuai hati nurani panggilannya atau harus menutup hati, mata dan telinga dengan berpasrah menjadi kambing hitam dan diperalat dari sistem kesehatan yang ada sekarang ini.

Kalau boleh mundur, banyak yang memilih mundur dan menyesal telah menyekolahkan anaknya di kedokteran, bahkan sebagian dokter juga menyesal telah menjadi dokter, mengapa tidak jadi ahli bongkar mesin saja yang sempat dikatakan lebih susah dari pekerjaan dokter?. Dokter, tugas dan tanggung jawabnya berat, tapi minim perhargaan terutama dari pemerintah. Sebagian dari mereka malah memilih berobat keluar negeri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik dimana pemerintah di negara itu peduli dan benar-benar memajukan bidang kesehatan bukan sekedar slogan belaka. Menata kembali semua kesenjangan di negara sendiri itu tentu lebih baik daripada seperti orang "kepo" yang terkagum-kagum dengan tatanan di negeri orang. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun