Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agama dan Musik: Menikmati Nasida Ria dan Rock n Mob

27 Januari 2021   11:52 Diperbarui: 27 Januari 2021   12:11 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Agama dan Musik: Menikmati Nasida Ria dan Rock N Mob

Ketika membicarakan strategi pengambangan studi-studi agama di Perguruan Tinggi Islam, Dr. Amin Abdullah dalam bukunya "Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?" menyinggung pandangan para antrolopolog yang memilah cara orang memahami Agama dalam bentuk "High Tradition" dan "Low Tradition"

"High Tradition" merujuk kepada kebiasaan orang memahami agama dengan membaca dan memahami teks-teks keagamaan. Teks kitab suci, tulisan-tulisan dan pendapat para cendikiawan tentang Agama adalah sumber utama pemahaman orang dalam tradisi ini. Sementara "Low Tradition" merujuk kebiasaan memahami agama dengan memperhatikan apa yang terjadi di masyarakat. "Low Tradition" memperhatikan cara masyarakat beragama.

Bila "High Tradition" menghasilkan agama yang idealistik-normatif, maka "Low Tradition" menghasilkan pemahaman agama empiris-historis. Bila yang pertama membicarakan das-sein (seharusnya), maka yang kedua membicarakan das-solen (senyatanya). Bila yang pertama kerap diasosiaskan sebagai cara beragama kaum intelek, maka yang kedua adalah cara beragama kaum awam.

Secara epistemologis, bila yang pertama dianggap mewakili epistemologi rasional maka yang kedua dianggap ekspresi dari epistemologi empiris. Bila yang satu menganggap kebenaran adalah sesuatu yang ada dalam dunia ide dengan rasio menjadi senjata utama memahaminya, maka yang satu lagi menganggap kebenaran ada di alam nyata dengan panca indra sebagai senjata utama untuk memahaminya. Secara filsafat, bila yang satu dianggap lebih Plato minded yang idealistik, maka yang satu lagi dianggap lebih Aristoteles minded yang dikenal realistik.

Yudi Latif pernah mengeluarkan uraian yang relatif mirip dengan uraian Amin Abdullah diatas. Menurut Yudi Latif, beragama itu mesti dipahami seperti hubungan erat antara laki-laki dan perempuan. Dalam relasi erat keduanya, perempuan atau laki-laki kadang bukan hanya butuh memeluk tapi juga butuh dipeluk. Dalam beragama, orang tidak hanya butuh memeluk agama, tapi juga butuh dipeluk agama. Orang tidak hanya butuh memahami makna perintah agama dengan rasionya (memeluk), tapi juga melaksanakan perintah agama tanpa reserve atau alasan karena disana merasakan kenikmatan beragama (dipeluk).

Jadi kalau agama menyuruh umatnya berzikir, adalah tidak keliru bila umatnya mengelaborasi makna berdzikir sampai mendalam. Namun kadang kenikmatan dzikir itu bukan hanya melalui elaborasi mendalam apa itu dzikir, tapi dzikirnya cukup dilakukan.

Yud Latif sendiri dikenal sebagai cendikiawan yang memahami agama melalui "High Tradition" tetapi juga terus mengaktifkan pengalaman empiris nya melalui komunitas sastra semasa kuliah di Fikom Universitas Padjadjaran.

Kembali ke pendapat Dr. Amin Abdullah daitas. Dalam rangka pengembangan studi Islam, Dr Amin Abdullah, Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhamadiyyah yang juga pernah menjadi Rektor UIN Yogyakarta, menggaris bawahi lemahnya umat Islam Indonesia memahami Islam dalam kerangka yang kedua atau "Low Tradition". 

Orang Islam di Indonesia sangat rajin memahami Islam dengan merujuk kepada teks-teks keagamaan namun abai melihat agama secara empiris. Kebanyakan orang Islam di Indonesia sangat mengerti kalau shalat itu mesti menutup aurat lengkap dengan dalilnya. Namun banyak orang Indonesia yang akan terkejut melihat orang shalat di negara lain dengan celana yang panjangnya tidak sampai mata kaki. Cukup di pertengahan betis saja.

Untuk menjembatani problem ini, Amin Abdullah mengusulkan dikembangkannya studi kawasan di Perguruan Tinggi Islam. Melalui studi kawasan inilah, orang Indonesia tidak hanya diajak untuk mempelajari Islam dari teks-teks keagamaan tapi juga kehidupan masyarakat. Agama bukan hanya dikaji secara rasional-idealistik tapi juga fenomenologis-empiris. Karena bila dilanjutkan lebih mendalam, maka keberagamaan yang rasional-idealistik inilah yang menghasilkan fundamentalisme beragama. Karena orang terbiasa diajak membicarakan Agama yang seharusnya bukan senyatanya. Agama yang idealistik dan normatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun