Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Falsafah Iqra

19 Juli 2019   08:23 Diperbarui: 19 Juli 2019   08:28 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Falsafah Iqra

Sebagaimana diketahui, ayat Quran pertama yang turun adalah tentang perintah membaca atau Iqra. Tercantum dalam 5 ayat pertama Surat Al-'Alaq. Bila di Indonesiakan, ayat itu berbunyi "Bacalah dengan nama Tuhanmu. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhan mu lah yang mulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya"

Ayat ini turun ketika Nabi sedang menyendiri di Gua Hura. Tidak membawa apa-apa selain membawa perbekalan makanan dan pakaian. Tidak adalagi yang lain. Nabi Muhammad juga dikenal sebagai seorang Ummi, atau orang yang tidak bisa membaca. Karenanya berangkat dari dua kondisi ini, lalu timbul dua pertanyaan besar. Apa yang harus dibaca oleh seorang yang sedang menyendiri, tidak membawa buku lagi tidak bisa membaca?

Demi mengetahui jawaban atas pertanyaan diatas, kita bisa mencarinya dengan menulusuri makna asal kata Iqra juga metodologi pengambilan kesimpulan.

Iqra terambil dari kata Qaraa yang memiliki makna generik "Menghimpun". Apabila orang merangkai huruf atau kata, kemudian orang tersebut mengucapkan rangkaian tersebut, berarti orang telah menghimpunnya. Dalam bahasa Quran disebut dengan Qaratahu Qiraatan. 

Arti asal kata Iqra menunjukan bahwa "Iqra" yang diterjemahkan dengan "membaca", pada dasarnya tidak mensyaratkan adanya sebuah teks tertulis yang mesti dibaca, juga tidak harus diucapkan sehingga mesti terdengar oleh orang lain. 

Karenanya dalam berbagai kamus bahasa akan ditemukan beraneka ragam arti dari kata tersebut yang artinya, menyampaikan, menelaah, membaca, meneliti, mengetahui cara-caranya dan sebagainya. Kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat "Menghimpun" yang merupakan akar kata "Iqra"

Hal lain bisa dilihar dari kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi "hafdhul ma'mul yufiidul umum" atau menghilangkan sebuah objek, artinya bermakna umum. Jadi kalau perintah membaca tanpa diiringi petunjuk objek apa yang mesti dibaca, maka perintah itu bermakna umum. 

Mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Orang harus membaca apa saja di alam ini. Alam takambang jadi guru, begitu kata orang minang.

Dari kedua hal diatas juga kemudian kita bisa membedakan perbedaan antara membaca dalam kata "Iqra" dengan membaca dalam kata "tilawah". Bila yang pertama merujuk kepada aktivitas membaca umum, baik itu bacaan suci berasal dari Tuhan maupun yang bukan, maka yang kedua, tilawah, adalah membaca bacaan yang sifatnya suci dan pasti benar. Dari sinilah orang menyebut "Tilawatul Quran" sebagai aktivitas khusus membaca Quran, bacaan suci dari Tuhan.

Mungkin hal menarik lain dari kata "Iqra" dalam wahyu pertama Quran itu adalah, bahwa kata "Iqra" muncul sebanyak dua kali. Kemunculan pertama kata "Iqra" dirangkaikan dengan kalimat "Bi ismi rabbika" atau dengan nama Tuhanmu. Sementara kemunculan kedua kata "Iqra" dirangkaikan dengan kalimat "wa rabbuka al-akram" atau Tuhanmu lah yang mulia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun