Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Lembaga Survei dan Penerimaan Hasil Pemilu

18 April 2019   16:32 Diperbarui: 18 April 2019   16:45 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://lontar.id/6884/6884/ 

Pemilu 2014, saya termasuk caleg pemula yang beruntung. Dipercayai seseorang sehingga beliau membantu pencalegan. Beliau membayar sebuah konsultan politik untuk mendampingi saya. Sayangnya, saya tidak mempunyai informasi memadai tentang lembaga tersebut. Informasi confidential yang tidak bisa dicari lewat google. Karenanya saya agak kesulitan membangun komunikasi juga memprediksi cara kerjanya. Saya pun berikhtiar mencari informasi tentang lembaga itu.

Suatu hari tanpa sengaja saya bertemu dengan seorang konsultan politik. Lembaga survei nya sudah mashur dan menjadi rujukan banyak kalangan. Saya pun meminta waktunya untuk mengobrol mencari tahu siapa konsultan politik yang mendampingi saya ini. Mungkin karena waktu masa pemilu dan saya seorang caleg, dia langsung memahami maksud saya.

Sayangnya, kalimat utama yang keluar adalah penolakan. Setelah mengatakan bila dia sedang sibuk, dia memberikan nama yang mesti saya hubungi untuk konsultasi dengan penekanan bahwa tarifnya sebagai konsultan politik itu mahal. Adapun temannya, murah dan terjangkau. Itulah pengalaman pertama berinteraksi dengan konsultan politik, di tahun pertama saya menapaki dunia politik praktis. Saya dilihat sebagai client bukan sebagai anak muda yang sedang bersemangat ingin berkonstribusi memperbaiki dunia politik Indonesia. 

Belajar dari pengalaman ini, saya memahami sinisme banyak kalangan terhadap lembaga survei. Karena di satu para surveyor itu, yang juga merangkap sebagai pengamat politik, di media selalu berbicara hal adiluhung tentang politik. Mengatakan perlunya politisi baik, mengecam parpol korup, demokrasi sehat, pemilu bermartabat yang bebas uang namun kata utama yang muncul manakala bertemu dengan seorang caleg pemula adalah tarif.

Ketika dulu baca-baca Musthalahul Hadits, ilmu untuk memverifikasi dan pengkategorian Hadits, ada namanya Hadits Shahih sebagai Hadits yang menjadi rujukan utama. Disebutkan bahwa diantara syarat Hadits Shahih itu, mesti disampaikan oleh seorang dhabit dan adil. Dhabit adalah periwayat hadits yang sangat kuat ingatannya. Dia bisa mengingat dan menyampaikan hadits sama akuratnya. Dhabit adalah aspek intelegensi seorang periwayat hadits. Sementara periwayat adil adalah orang yang selalu konsisten melaksanakan ketentuan agama dan senantiasa menjaga harga dirinya (muruah).

Karena ini berkaitan dengan Hadits, para ulama menerapkan kriteria yang sangat ketat perihal syarat Hadits ini. Guru saya dulu sempat bilang, andaikan ada seorang perawi hadits yang dikenal dhabit dan semua syarat-syarat tipe Hadits Shahih telah dia penuhi namun ada berita bahwa dia pernah buang angin di depan orang lain, maka hadits yang dia sampaikan itu tertolak. Tidak layak menjadi rujukan.

Apa yang dirumuskan para ulama Hadits ini, oleh Aristoteles disebut dengan Ethos, yaitu orang yang mempunyai pikiran, sikap, dan maksud baik. Ethos ini yang oleh Carl Hovland dan Walter Weiss, Pakar Komunikasi dari Amerika, pada tahun 1950an disebut dengan kredibilitas. Menurut Weiss dan Hovland, kredibilitas adalah syarat utama kalau pembicaraan kita ingin didengar orang lain. Sementara unsur kredibilitas itu ada dua; Expertise (keahlian) dan trusworthiness (dapat dipercaya). Kita akan bertanya kondisi penyakit kita kepada dokter, karena dia ahlinya (Expert). Tapi kita pasti akan ragu keterangan dokter yang suka melakukan malpraktik. Karena dia tidak bisa dipercaya (Trusworthy)

Dalam konteks lembaga survei, hal inilah yang saya sadari menjadi ganjalan bagi setiap orang untuk sepenuhnya 100% mempercayai lembaga survei. Karena di satu sisi mereka berbicara tentang urgensi politik bermartabat dan pemilu bersih dari uang, di sisi lain setiap hari berbicara merusak keadaban politik dan membagi-bagi uang ke masyarakat untuk mendukung jagoannya. Expertise sebagai ilmuwan politik diakui, tetapi sikapnya sulit dipercaya

Namun kalau kita kembali lagi ke methodologi Musthalahul Hadits diatas, disebutkan tentang adanya Hadits Hasan dan Hadits Shahih lighairihi. Hadits Hasan adalah Hadits yang telah memenuhi syarat-syarat Hadits Shahih, tapi kurang sempurna. Seperti ada perawi yang kadar adil dan dhabitnya kurang. Karenanya Hadits Hasan, tingkatannya dibawah Hadits Shahih.

Sementara didalam type Hadits Shahih ada yang disebut dengan Hadits Shahih lighairihi. Hadits yang tidak langsung masuk kategori Hadits Shahih, karena ada syarat yang tidak sempurna seperti perawinya yang kurang kredibel. Tapi statusnya terangkat menjadi Hadits Shahih karena dikonfirmasi oleh Hadits Shahih lain yang perawinya kredibel dan berbicara hal yang sama. Secara bahasa, Hadits Shahih lighairihi ini artinya sebuah Hadits yang menjadi Hadits Shahih karena diangkat oleh Hadits lainnya. Berbeda dengan Hadits Shahih lidzatihi, Hadits yang Shahih dengan sendirinya tanpa harus diperkuat Hadits lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun