Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ulasan Film "A Time To Kill"

9 Januari 2018   14:01 Diperbarui: 9 Januari 2018   14:20 1818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

A Time To Kill

Ketika konstitusi Amerika menyatakan prinsip Equality Before The Law, persamaan di depan hukum, tetapi diskriminasi terhadap kulit hitam dalam kehidupan sehari-hari masih terjadi, maka pengadilan menjadi pertarungan antara menang dan kalah bukan menemukan kebenaran dan keadilan.

Seorang perempuan kecil berkulit hitam anak Afro-Amerika, baru berumur 10 tahun, diperkosa oleh dua orang kulit putih. Setelah itu badannya dijadikan target adu tepat melempar kaleng bir, digantung di dahan pohon (tapi dahannya patah sehingga dia tidak meninggal) lalu tubuhnya disiram air kencing. Sementara kedua pelaku itu selain berkulit putih, juga narapidana yang suka membunuh dan memperkosa.

Secara prosedural, penegak hukum yang juga berkulit putih, sudah menggiring pelaku ke pengadilan. Tetapi tidak yakin dengan keadilan yang akan didapat, Lee si ayah korban menembak mati kedua pelaku di depan umum di gedung pengadilan. Hal yang merubah keadaan dimana Lee sekarang yang harus berdiri di pengadilan sebagai tersangka pembunuhan dengan ancaman hukuman mati.

Secara hukum, Lee bersalah. Pasal yang dilanggar jelas, barang bukti dan saksi ada dimana-mana. Dalam persidangan memasuki detik-detik terakhir pun, pengacara Lee dan Lee sendiri terlihat keteteran menghadapi Jaksa penuntut. Bahkan para juri secara diam-diam sudah menyatakan kalau Lee bersalah dan terancam akan dihukum mati.

Tapi Juri akhirnya memutuskan Lee tidak bersalah karena pembelaan pengacara di sesi terakhir peradilan. Bragrance pengacara Lee tidak berbicara memakai logika atau argumentasi hukum untuk mematahkan argumen Jaksa penuntut, tapi Bragrance memakai bahasa hati. Mengetuk hati para Juri tentang apa yang akan terjadi pada diri mereka, yang mayoritas Juri berkulit putih, jikalau anak yang diperkosa itu berkulit putih.

Seperti nya apa yang diungkapkan oleh Bragrance itu sudah beyond the law bukan the law itu sendiri. Bragrance mengingatkan para Juri tentang fungsi paling dasar lembaga hukum sebagai tempat mencari rasa keadilan bukan semata penegakan hukum saja.

Ketika beberapa kali menonton film Amerika berlatar hukum dimana ada perdebatan di pengadilan, saya selalu penasaran apakah retorika memang menjadi sesuatu yang diajarkan di jurusan Ilmu Hukum di Amerika?Atau memang seluruh pengacara itu tidak hanya harus mendapat nilai A dasar logika, tapi A+ untuk Rethoric in practice

Film lama, tahun 96an dan bukan kisah nyata tapi adaptasi dari novel nya John Grisham. Tapi Grisham konon penulis yang mempunyai dasar riset dalam tulisannya. Beberapa kali peradilan Amerika membebaskan orang-orang bersalah seperti pada kasus Lee.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun