Mohon tunggu...
Sosbud

Antara Islam, Jawa, dan Budaya

31 Desember 2018   11:56 Diperbarui: 8 Januari 2019   07:26 1835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia adalah negara dengan populasi manusia terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 258 juta jiwa atau sekitar 3,5% dari keseluruhan jumlah penduduk di dunia. Dari 258 juta jiwa tersebut terdiri dari berbagai macam suku, etnis, dan agama. Menurut sensus penduduk tahun 2010 sebanyak 81,18% dari seluruh penduduk Indonesia atau sekitar 193 juta jiwa beragama Islam. Dengan jumlah penduduk muslim yang begitu besar inilah yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia.

Meskipun Agama Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, tidak serta merta membuat kondisi sosial masyarakat di Indonesia menjadi berat sebelah. Tingkat toleransi di masyarakat begitu tinggi dan terjaga. Hal ini tidak lepas dari pengaruh semboyan Negara Indonesia yaitu "Bhineka Tunggal Ika" yang mempunyai makna, meskipun berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Ada berbagai macam teori yang membahas tentang masuknya Islam ke Indonesia. Yang pertama ada teori yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 M yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat. Lalu ada juga teori yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M yang dibawa oleh pedagang dari Mekkah. Ada juga teori yang menyebutkan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke 13 M yang dibawa oleh orang-orang Persia.

Sedangkan untuk kedatangan Islam di tanah Jawa, para ahli sepakat bahwa Islam datang pertama kali pada masa pemerintahan raja-raja Hindu. Hal ini diperoleh dari Prasasti Makam yang ditemukan di Gresik. Yaitu pada nisan Fatimah Binti Maimun yang wafat pada tahun 1.087 M. Prasati ini menjadi bukti otentik bahwa Islam telah menyebar di Pulau Jawa. Khususnya di Jawa Timur pada masa pemerintahan raja Hindu, yaitu Raja Airlangga.

Terlepas dari berbagai macam teori tentang masuknya Islam ke Indonesia, dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam masuk ke Indonesia sudah sangat lama dan disebarkan secara damai tanpa adanya kekerasan, dan paksaan. Hal ini didukung oleh pendapat dari Wertheim yang menyebutkan bahwa Islam disebarkan melalui perdagangan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa arus perdagangan pada masa itu, khususnya di pesisir pantai Utara Jawa yang begitu ramai oleh para pedagang baik dari Eropa, India, Asia Tengah, dan Asia Timur.

Namun, pendapat ini juga mendapat bantahan dari ahli sejarah lain yaitu Van Leur. Ia menyatakan bahwa tidak mungkin Islamisasi bisa dilekukan secara besar besaran hanya oleh kaum pedagang dan perkawinan semata. Di sisi lain para sejarawan banyak yang menyokong Teori Da'I Sufi yang menyatakan bahwa Islam disebarkan oleh para kaum pendakwah sufi seperti dari wilayah Bengal. 

Hal ini dibuktikan dengan corak Islam di Jawa yang bersifat mistik dan temuan naskah-naskah lama di beberapa wilayah Jawa yang bertemakan penyebaran Islam melalui kegiatan sufistik. Penyebaran Islam di wilayah Jawa ini juga tidak terlepas dari peran Wali Songo yang mana makamnya banyak diziarahi umat Islam di Jawa.

Kedatangan Islam ke Indonesia khususnya di daerah pesisir Utara Jawa secara tidak langsung menciptakan suatu akulturasi budaya baru antara budaya yang dibawa oleh orang-orang pendatang dan budaya asli dari penduduk pesisir Jawa sendiri. Akulturasi ini menciptakan sebuah budaya baru yang terus lestari bahkan hingga masa kini. Hasil akulturasi ini dapat kita lihat pada menara Masjid Kudus yang merupakan akulturasi antara Agama Islam dengan Hindu.

Selain berupa bangunan bentuk akulturasi kebudayaan ini juga dapat berupa kegiatan seperti Tahlilan. tahlilan ini merupakan upacara kenduri atau selamatan untuk berdoa kepada Allah dengan membaca Surah Yasin dan beberapa surah dan ayat pilihan lainnya. Diikuti kalimat-kalimat tahlil (laa ilaaha illallaah), tahmid ( Alhamdulillaah), dan tasbih (Subhanallaah). Tahlilah biasanya diselenggarakan sebagai ucapan syukur kepada Allah SWT (tasyakuran) dan mendoakan seseorang yang telah meninggal dunia pada hari ke-3, 7,40,100,1000 dan khaul (tahunan).

Tradisi ini berasal dari kebiasaan orang-orang Hindu dan Buddha yairu kenduri, selamatan, dan sesaji. Dalam ajaran agama Islam hal ini tidak dibenarkan karena mengandung kemusyrikan. Sehingga dalam tahlilan sesaji diganti bengan berkat atau nasi dan lauk pauk yang dibawa pulang oleh peserta. Ulama yang mengubah tradisi ini adalah Sunan Kali Jaga dengan maksud agar orang yang baru masuk Islam tidak terkejut karena harus meninggalkan tradisi mereka, sehingga mereka kembali ke agamanya semula.

Selanjutnya ada Sekaten, yang merupakan upacara untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW di lingkungan keraton Jogjakarta atau Maulud. Selain untuk maulud, sekaten juga diselenggarakan pula pada bulan Besar atau Dzulhijjah. Pada perayaan ini gamelan sekaten diarak dari keraton ke halaman Masjid Agung Jogja dan dibunyikan siang malam sejak seminggu sebelum tanggal 12 Rabiul Awal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun