Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pahlawan dalam Narasi-narasi Kecil

9 November 2021   21:43 Diperbarui: 9 November 2021   22:26 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jathil remaja Jember. Foto: Dokumentasi Pribadi

Saya mengalami masa-masa kecil dan remaja dengan banyak gambar pahlawan nasional di dinding ruang kelas SD, SMP, dan SMA. Ya, selain Bung Karno, Bung Hatta, yang sangat terkenal, tentu saja, Pangeran Diponegoro, R.A Kartini, Sultan Hassanudin, Tjoet Nyak Dien, Teuku Umar,  dan yang lain. Gambar-gambar itu membentuk perspektif saya tentang sosok dan makna pahlawan.

Dalam pelajaran terkait sejarah, para guru juga tak bosan-bosan bertutur tentang para pahlawan itu beserta perjuangan mereka terhadap kemerdekaan bangsa dan negara ini. Saya dan kawan-kawan pun diajak masuk ke dalam narasi besar kepahlawanan yang diidealisasi oleh Negara melalui praktik pendidikan dasar dan menengah, bahkan sampai ke perguruan tinggi. Semua itu diperkokoh dengan peringatan Hari Pahlawan, 10 November.

Dalam model narasi besar, pahlawan adalah tokoh-tokoh terhormat yang ditetapkan Negara dengan tujuan memberikan contoh sikap heroisme yang dibutuhkan untuk membangun cinta tanah air dalam diri generasi penerus. Mayoritas pahlawan adalah tokoh yang berjuang di masa kolonial, berjuang di era revolusi, atau yang mempertahankan dasar negara.

Yang juga masih saya ingat pada masa Orde Baru adalah gelar pahlawan yang diberikan kepada sosok yang masih hidup pada waktu itu. Dia adalah Presiden Suharto, si Pahlawan Pembangunan. Sampai-sampai, sosok Pahlawan Pembangunan tersebut muncul dalam ulangan SD. Karena menjadi aparatur Negara, para guru pun dengan giat menyampaikan tentang kontribusi Suharto dalam membawa bangsa ini ke dalam modernitas melalui bermacam proyek pembangunan.

Di balik itu semua adalah usaha Negara untuk menguasai pikiran generasi penerus dengan model idola nasional yang diwacanakan berkontribusi penting bagi eksistensi bangsa ini. Tentu saja model seperti ini seringkali terjebak ke dalam model indoktrinasi dogmatis, karena generasi penerus secara formal hanya diberikan pilihan tentang sosok pahlawan berdasarkan kehendak Negara.

Sampai sekarang, Negara masih saja menggunakan prosedur formal untuk gelar kepahlawanan yang hanya diperuntukkan untuk tokoh-tokoh hebat yang sudah meninggal. Tentu saja yang tidak bermasalah secara konstitusional, seperti tokoh-tokoh yang dianggap terlibat komunisme dan pemberontakan terhadap Republik.

Dalam kondisi dewasa ini, ketika narasi-narasi besar tentang kebenaran mulai dikritisi atas nama keragaman dan keberbedaan sebagai dampak tradisi dekonstruksi dan disrupsi, konsep pahlawan juga mengalami pembacaan-ulang. Artinya, Negara tidak bisa lagi memonopoli konsep pahlawan, karena warga negara juga berhak untuk membuat narasi sendiri tentang pahlawan yang mereka idolakan.

Kalau selama ini pahlawan dinilai dari kontribusi mereka terhadap perjuangan kemerdekaan Republik serta diusulkan oleh warga atau organisasi tertentu berbasis aturan birokrasi yang sangat ketat, maka pemahaman tersebut bisa dimaknai-ulang secara merdeka oleh warga negara. Mengapa? Masing-masing warga atau komunitas tentu memiliki tokoh-tokoh yang ikut berkontribusi terhadap perkembangan mereka, baik yang sudah meninggal atau masih hidup.

Artinya, individu atau komunitas juga berhak membuat narasi tentang pahlawan dan kepahlawanan menurut versi mereka. Mengapa? Karena merekalah yang benar-benar merasakan perjuangan individu-individu yang dengan konteksnya masing-masing ikut menumbuhkan harapan dan kebaikan, memberikan solusi masalah, dan merawat kehidupan.

Tentu kriteria tersebut sangat lentur dan merdeka, tidak membatasi pada keinginan Negara semata. Apakah itu dilarang? Tidak ada larangan. Artinya, biarkan Negara tetap menggunakan formulanya dalam menentukan status pahlawan, individu atau masyarakat juga memiliki narasi dan formula mereka sendiri, walaupun tanpa membutuhkan pengakuan konstitusional dari Negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun