Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dahsyatnya Gotong Royong dalam Lembayung di Sepikul

28 Februari 2020   00:44 Diperbarui: 28 Februari 2020   00:59 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adalah kenyataan bahwa saat ini gotong-royong mulai berkurang intensitasnya dalam masyarakat Indonesia. Ketika kebiasaan transaksional berdasarkan untung-rugi menjadi hegemonik di tengah-tengah masyarakat, solidaritas dan kerjasama tanpa pamrih menjadi semakin langkah. 

Kekhawatiran tersebut bukanlah isapan jempol. Dalam masyarakat desa, tradisi gotong-royong semakin terpinggirkan. Motif ekonomi dari aktivitas pekerjaan, mendorong warga masyarakat untuk selalu berorientasi kepada pencapaian finansial. Ruang dan peristiwa komunal yang meluruhkan beragam motif ekonomi menjadi semakin langkah. 

Meskipun demikian, saya tidak mengatakan bahwa gotong-royong sudah sepenuhnya hilang dari ruang perdesaan. Kenyataannya, masih saja ada orang-orang yang membantu tetangganya secara sukarela tanpa dibayar, khususnya ketika ada yang ditimpa musibah, memiliki hajatan tertentu. 

Gotong-royong untuk perhelatan bersama menyambut hari besar nasional atau peringatan hari besar agama masih dengan mudah kita jumpai. Tantangan ke depan adalah mempertahankan atau kalau bisa mengembangkan gotong-royong yang masih ada itu menjadi tradisi komunal untuk kegiatan-kegiatan masyarakat, khususnya untuk kerja-kerja pengembangan dan pemajuan kebudayaan. 

Dewan Kesenian Jember (DeKaJe), Pemerintah Desa, dan warga Pakusari, Jember, membuktikan bahwa gotong-royong masih bisa diandalkan untuk menyukseskan pergelaran besar, seperti Lembayung di Sepikul. Acara yang diselenggarakan pada Sabtu, 22 Pebruari 2020, dari pagi hingga malam ini membutuhkan waktu persiapan selama sebulan penuh.

Tanpa gotong royong antarelemen, pergelaran di bawah Bukit Sepikul yang menampilkan bermacam atraksi seni dan budaya akan sulit terwujud. Ratusan seniman yang terlibat, eksperimen panggung terbuka di kawasan Sepikul, ketiadaan anggaran dari Pemkab Jember, dan bayang-bayang hujan dengan intensitas tinggi merupakan realitas hambatan yang bisa mengganggu keberlangsungan acara itu. Ketika tidak ada kekuatan dan spirit solidaritas dan kebersamaan antara DeKaJe, pemerintah desa, dan rakyat, event tersebut tidak mungkin berhasil diwujudkan. 

Pertemuan dengan Pemdes Pakusari | dokpri
Pertemuan dengan Pemdes Pakusari | dokpri
Pada titik itulah, kita bisa memposisikan gotong-royong sebagai modal sosial untuk menyelesaikan permasalahan ataupun menyukseskan  agenda komunal. Bagi mereka yang sudah terbiasa dengan budaya transaksional, gotong-royong memang dianggap merugikan individu yang terlibat. Namun melampaui pemahaman tersebut, gotong-royong merupakan sebuah tindakan batin penuh kegembiraan yang tidak harus dimaknai dalam tradisi kapitalistik. Masih ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk menjalankan kerja-kerja komunal tanpa harus meributkan upah, khususnya bagi para panitia.

Gotong-royong, pertama-tama dilakukan DeKaJe ketika harus memutuskan untuk menggelar event seni budaya guna mendukung pengembangan wisata eko-kultural di kawasan Sepikul. Tanpa anggaran dari Pemkab, pengurus DeKaJe mengadakan beberapa kali pertemuan untuk menyelesaikan persoalan anggaran khususnya terkait honor para seniman penampil, sewa panggung dan sound system, dan lighting system. 

Tentu itu bukan pekerjaan mudah. Beruntunglah salah satu pengurus DeKaJe berani menawarkan dana untuk kegiatan ini. Dana tersebut murni berasal dari tabungannya. Kebaikan pengurus tersebut mendorong pengurus lainnya ikut urunan, menutup biaya yang dibutuhkan. Bagaimana mungkin pengurus DeKaJe rela untuk melakukan urunan? Ada hal-hal dalam menjalani kehidupan yang tidak selalu harus dihitung dengan untung-rugi. 

Bagi para pengurus yang masih bertahan di DeKaJe, pengabdian mereka adalah pengabdian kepada alam, manusia, dan budaya Jember. Bukan sesuatu yang main-main. Ketika niat tulus itu diperjuangkan, maka semesta dan Tuhan pasti akan banyak memberikan karunia. Dari situlah persoalan dana tidak perlu dirisaukan. 

Pertemuan di rumah Kades Misjo | dokpri
Pertemuan di rumah Kades Misjo | dokpri
Spirit gotong royong juga ditunjukkan oleh Pemdes Pakusari melalui Kades Misjo. Tanpa prosedur njlimet, ia bersedia menyiapkan semua kebutuhan konsumsi dari ratusan seniman yang terlibat, termasuk panitia dari DeKaJe dan perangkat desa. Ia juga akan menyiapkan pernik-pernik di hari H, seperti kereta bendi hias laksana 'kereta kencana' yang akan dinaiki Bupati Jember, penjor dari janur kurnig, penyediaan lahan parkir, dan yang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun