Diam adalah emas, slogan itu yang sering ku dengar namun tak pernah ku serap sepenuhnya apa arti diam adalah emas tersebut. Ketika aku tak pernah menyangka mulutmu adalah harimaumu yang ku terima.
Mungkin aku terlalu banyak bicara dan tidak mengontrol apa isi pembicaraanku sebenarnya. Kini aku menyadari diam adalah emas dan aku harus lebih banyak diam dan bicara seperlunya saja.Â
Aku tak pernah menyangka aku bisa bertindak sebodoh ini tanpa menyaring apa yang akan aku katakan. Menyinggungkah, menyudutkankah, menyakitkankah atau yang lainnya. Mungkin yang dirasa aku seperti mempermalukannya di khalayak ramai yang seharusnya antara aku dan dia saja yang mendengar apa yang aku sampaikan.
Diam adalah emas. Ya, aku akan bicara seperlunya saja sesuai apa yang ditanya padaku. Tak perlu terlalu ikut campur dengan urusan orang lain juga. Aku juga cukup mendam saja apa yang aku rasakan.
Ternyata menyampaikan pendapat itu salah, tak bisa semau dan harus teratur bisa melihat situasi dan kondisi dan semua itu seperti tidak dalam pertimbanganku. Walaupun di awal aku banyak menimbang dan ternyata aku salah takaran.
Seperti dalam suatu lingkaran tak menemui titik temu permasalahan ini. Aku pun tak mampu memahami diriku sendiri. Aku tak faham apa yang aku butuhkan, aku tak mengerti mau kemana aku berjalan, seperti sia-sia saja hidup ini. Â Inilah yang disebut orang yang rugi berjalan hanya membuang waktu tanpa tau arah tujuan.
Rasa bahagia berawal dari diri sendiri yang membuat bahagia, diri sendiri yang mempunya fikiran negati sehingga menghasilkan pula tindakan negatif. Segala sesuatu yang bersifat emosional tidak perlu berlabihan sehingga sulit mengontrol di puncak sensitif dan menyentuh area sensitif yang mungkin dapat mengubah semua menjadi hal yanh dibenci. Maka berbahagialah untuk diri sendiri tak perlu berfikir hal negatif untuk diri sendiri.