Mohon tunggu...
dedi s. asikin
dedi s. asikin Mohon Tunggu... Editor - hobi menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sejak usia muda

Selanjutnya

Tutup

Money

Porang dan Tata Ruang

19 April 2021   11:33 Diperbarui: 19 April 2021   11:55 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ada lagi isu yang sedang trending. Isu positif tentang  porang. Banyak orang menjadi kaya gara-gara bertani sejenis tanaman yang sekarang menjadi komoditas impor. Porang adalah sejenis iles iles atau talas yang tumbuh menjalar. Bersandar dan merambat di pepohonan lain. Umbi porang nama ilmiahnya AMORPHOPHAL MUELLERI, selain bisa dimakan ternyata memiliki manfaat lain sebagai bahan obat untuk penyakit kolesterol, diabeth, kanker, sembelit dan lain-lain. Ia juga menjadi bahan kosmetik, penjernih air, lem dan jelly.

Saat ini porang  menjadi komoditas ekspor. Katanya ada 16 negara yang membutuhkan tanaman itu. Yang terbesar Jepang dan China. Sekarang ini baru petani di Kabupaten Madiun yang sudah tertarik menanam porang. Tersebut ada nama Paidi, Hartoyo, Parno dan lain-lain. Mereka sudah berhasil menjadi petani umbi porang. Paidi misalnya,  mantan pemulung itu kini kaya raya. Rumahnya yang dulu berdinding bambu dan berlantai tanah kini berubah menjadi gedung mentereng. Sebuah mobil baru juga sudah dia miliki. Demikian juga dengan yang lainya. Lebih dari 700 warga menggeluti tanaman itu di kecamatan Kare dan Klangon Madiun.

 Umumnya mereka menanam dilahan milik perhutani.  Mereka hanya diminta konstribusi 7 persen untuk perhutani dan kas desa. Porang memang mudah tumbuh di sembarang lahan dalam ketinggian 0 sampai 700 mdpl.

Namun dibalik prospek positif tentang tanaman ini ada baiknya pemerintah dari sekarang membuat tata ruang wilayah. Beberapa pengamat pertanian meyakini tata ruang wilayah pertanian khusus untuk tanaman Porang belum ada. Ini penting, kata mereka. Seorang pengamat menceritakan pengalaman tahun 1960 an. Waktu bom cengkeh di Sulawesi Utara, banyak petani di pulau Jawa khususnya di Jawa Barat yang ikut-ikutan bertani cengkeh. Mereka tergiur oleh rezeki orang Sulut yang mendadak kaya karena harga cengkeh waktu itu mencapai Rp.300.000 per kg.

Mereka tinggalkan tanaman singkong yang secara ekonomi kurang menguntungkan. Tapi apa yang terjadi? Pada saat mereka mau panen harga cengkeh turun drastis, hanya Rp.10.000. Bahkan nyaris tak laku. Banyak petani di Jawa Barat  yang marah dan membakar pohon cengkeh mereka.

Kata pengamat, itu terjadi karena waktu itu belum ada tata ruang wilayah baik secara umum atau khusus cengkeh. Yang terjadi kemudian petani Jawa bagai maju kena mundur njeduk. Bertani cengkeh rugi, mau kembali tanam singkong, pabrik tapioka nya  sudah tutup. Sampai sekarang produksi singkong di Jawa nyaris mati.

Itulah sebabnya mungpung belum menjalar ke mana-mana pemerintah dalam  hal ini Kementerian Pertanian segera membuat tata ruang wilayah  tanaman  porang.  Daerah mana saja dan dalam hitungan berapa luas porang boleh ditanam. Jangan sampai over produksi, harga turun dan petani rugi. Ini harus dicegah.  

Warning dan analisa itu tampak benar dan rasional. Maka sebaiknya itu dilakukan sesegera mungkin, harap pengamat.- ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun