Mohon tunggu...
Dede Alamsyah
Dede Alamsyah Mohon Tunggu... Penulis - Read, Write, and Reflect.

Student of Sadra Islamic Philosophy College

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Penderitaan: Dari Kesengsaraan Menuju Harapan

4 Mei 2020   13:00 Diperbarui: 5 Mei 2020   00:32 1289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sejak kelahirannya dari rahim ibu ke dunia, manusia sudah membawa pada dirinya keinginan. Jika keinginannya itu tidak terpenuhi ia akan menangis dan meronta-ronta. Bersama keinginan itu pada dirinya juga terdapat ketidakinginan. Ia menginginkan susu sekaligus tidak menginginkan tidak ada susu. Sebagai reaksinya, ia akan tenang kalau ada susu masuk ke tenggorokannya, sebaliknya ia akan menangis jika tidak ada susu yang memasuki tenggorokannya.

Namun keinginan dan ketidakinginan itu berada pada satu naungan, yaitu adanya 'kesadaran akan realitas'. Realitas itu lah yang akan terus ia kejar atau hindari.
Bersama dengan waktu, ia tumbuh dan berkembang. Dari bayi menuju balita, dari balita menuju anak-anak, hingga remaja, tua, dan mati. Bersamaan dengan itu, keinginan dan ketidak inginannya tetap hadir menemani perjalanan hidupnya. Dengan apapun keinginan itu diistilahkan. Apakah itu naluri, insting, fitrah, dan sebagainya yang jelas itu ada sebagai sesuatu yang manusia alami, sadari, dan rasakan.

Secara garis besar yang manusia inginkan dan tidak inginkan adalah dua hal berikut: (1).  kenikmatan (sebagai yang diinginkan) (2). Penderitaan (sebagai yang tidak diinginkan). Kenikmatan memiliki banyak cabang, seperti kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, dan lain sebagainya. Penderitaan pun memiliki cabang, diantaranya rasa sakit, kesedihan, kebencian, ketakutan, dan rasa tidak mengenakan lainnya. 

Kenikmatan dan penderitaan adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak realitasnya oleh manusia. Semasa hidupnya manusia sangat mendambakan dan berusaha meraih kenikmatan. Ia juga berusaha sebisa mungkin menghindari penderitaan dengan beragam cara dan perjuangannya masing-masing. Ketika kenikmatan itu datang, ia sangat ingin mempertahankannya, sebaliknya ketika penderitaan itu datang, ia begitu menginginkan penderitaan itu pergi dan berlalu. 

Kedua rasa itu memang selalu beroposisi dan datang silih berganti di kehidupan manusia. Jika dibandingkan, manakah bobot yang paling kuat dari kedua hal itu? Jawabannya adalah penderitaan. Manusia pasti lebih memilih keadaan netral tanpa bahagia yang penting dia tidak merasakan penderitaan. Ketidakinginannya terhadap penderitaan begitu besar. Bahkan seandainya ada tawaran penukaran,  jika diberikan akses misalnya, maukah kita melakukan hubungan seksual dengan perempuan idaman kita selama 10 menit kemudian kita dibakar hidup-hidup selama 10 menit juga. Jawabannya pasti tidak akan mau. Bahkan jika ditambah aksesnya menjadi 10 hari, pasti kita tidak akan mau.  Bahkan Psikologi manusia memberikan penilaian yang lebih kuat atas intensitas penderitaan daripada kenikmatan (Enz-Ta, 2019). Maka jelas bahwa ketidakinginan manusia merasakan penderitaan lebih besar daripada keinginan manusia merasakan kenikmatan.

Lantas apakah sebenarnya penderitaan itu? Dimana letak penderitaan dan sebab penderitaan? Dan bagaimana kita menghadapi dan memaknai penderitaan kalau itu memang ada dan tidak kita inginkan kedatangannya?

Penderitaan adalah apa yang kita persepsikan sebagai rasa menyiksa, menyakitkan, pedih,  tidak nyaman, dan rasa tidak enak lainnya. Reza A.A Wattimena dalam tulisan artikelnya yang berjudul Trauma, Derita, dan Kebebasan menganggap bahwa sumber penderitaan itu adalah pikiran dan emosi, dengan mengkategorikan emosi sebagai bentuk pikiran (Reza A.A Wattimena, 2019). Entah emosi ataupun pikiran, dalam prinsip Filsafat Islam itu satu sebagai suatu daya jiwa. Memang banyak penderitaan yang merupakan berawal dari persepsi seperti ketakutan akan masa depan suram, bayang-bayang masa lalu yang tidak diinginkan pernah terjadi, dan berbagai bentuk persepsi lainnya tentang penderitaan. 

Namun kita juga menyadari bahwa penderitaan tidak hanya berasal dari pikiran semata. Ada hal lain yang menjadi lokus penderitaan dan sebab penderitaan. Kita bisa merasakan penderitaan jika tubuh kita mengalami kecelakaan, kerusakan, atau penyakit. Dalam filsafat jiwa aliran Islam, jiwa dan tubuh itu saling berinteraksi. Aliran ini disebut interaksionisme. Meskipun begitu, dalam Filsafat Islam jiwa dan tubuh adalah satu eksistensi dengan perbedaan gradasi (Cipta Bakti Gama, 2014). 

Sebab penderitaan juga begitu beragam, dari sebab psikis, fisik, masyarakat atau individu lain, alam, dan sebagainya. Terkadang kita tidak menciptakan penderitaan tapi penderitaan itu datang dari pihak luar seperti orang-orang jahat, misalnya bagaimana orang-orang Palestina merasakan penderitaan akibat perlakuan Zionis Israel terhadap mereka, atau penderitaan orang-orang Yahudi yang disebabkan kejahatan Hitler, atau keganasan hukum alam seperti tsunami, gempa, dan sebagainya. Tidakkah itu disebut penyebab penderitaan? Bahkan kalau kita telusuri lebih jauh lagi, semuanya itu akan berpangkal pada satu titik penyebab, yaitu Tuhan.

Fenomena penderitaan dan pemaknaan atasnya memang membuat banyak manusia galau, putus asa, nestapa, hingga memandang bahwa hidup di dunia ini absurd dan bunuh diri adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari absurditas itu. Arthur Schopenhauer meluapkan kegalauannya dalam bukunya Parerga und Paralipomena dengan mengatakan bahwa bunuh diri itu diperbolehkan apabila rasa sakit dalam hidup dirasa lebih besar daripada rasa sakit akan kematian itu sendiri (Vayan Yanuarius, 2020).

Tidak dapat disangkal bahwa banyak penolakan terhadap eksistensi Tuhan karena problem penderitaan dan pemaknaannya. Tidak hanya ilmuan, pemikir atau filsuf. Bahkan orang awam seperti kita sangat berpotensi jatuh pada sikap atheistik. Jiwa manusia mempertanyakan kenapa saya harus mengalami musibah, kemiskinan, dan penderitaan ini. Kenapa saya harus lahir dari orang tua sejahat ini? Sedangkan orang lain lahir dari orang besar, berilmu lagi terhormat. Orang lain lahir dengan keburuntungan yang banyak. Kenapa antara saya dan mereka berbeda? Padahal saya tidak salah, dan kebaikan macam apa yang membuat orang lain itu beruntung? Dimanakah Tuhan? Apakah dia mendengar rintihan saya? Apakah ini semua adil? Kegalauan-kegalauan ini wajar dan mungkin pernah dialami oleh semua orang, termasuk penulis sendiri. Orang-orang yang putus asa karena tidak memiliki jawaban yang memuaskan bagi dirinya lebih memilih tidak bertuhan dan hidup dalam keputusasaan, kenestapaan, absurditas, dan nihilistik. Stendhal bahkan sampai mengatakan, satu-satunya cara untuk memaafkan Tuhan adalah dengan menegaskan bahwa Ia tidak ada (Reza A.A Wattimena, 2010). Pernyataan ini disebut membuat Nietzche iri, mungkin pernyataan ini lah yang menginspirasinya melahirkan diktum terkenal 'Tuhan telah mati'. Problem penderitaan sangat membuat banyak manusia galau. Penderitaan itu kini juga ada di tengah-tengah kita dan sedang dialami umat manusia. Ia menghantui, dan menimbulkan banyak problem lain. Dia adalah COVID-19. Manusia dirundung kesedihan akibat Pandemi ini. Keluarga banyak yang ditinggalkan, ekonomi kian terpuruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun