Begitu pula bagi orang tua yang saya harap sudah sepatutnya untuk tidak terlalu membatasi anaknya. Anak yang terlalu lama "diperam" dalam rumah dengan kedok pendidikan keluarga, juga akan menjadi burung dalam sangkar yang ketika pintunya terbuka akan terbang jauh dan takmau kembali.
Maka dari itu, di usia yang tepat, anak harus dilepas. Lelaki atau pun perempuan. Karena pendewasaan dibutuhkan oleh semua orang tanpa melihat jenis kelamin.
Termasuk ketika mereka kemudian berhak masuk ke teater. Kebebasan berekspresi dan mengenal seluk-beluk kesenian bukan milik lelaki saja, melainkan perempuan juga.
Kalau yang ada di teater hanya lelaki, apakah tokoh-tokoh perempuan harus diperankan lelaki aktor? Tidak harus begitu, kan?
Ketika penilaiannya demikian, maka anak akan diberitahu nyaris objektif terkait teater. Contoh yang diungkapkan adalah orang-orang yang mabuk di lingkungan teater memang ada dan cukup banyak, tetapi mereka juga menghargai rekan-rekannya yang tidak mabuk.
Artinya, di dalam teater juga ada praktik respek dan toleransi. Dua hal yang sangat berharga dan seharusnya orang tua juga belajar dari "tamparan" itu.
Jika teater yang dianggap dipenuhi orang-orang tidak jelas saja mau menjunjung respek dan toleransi, kenapa orang tua justru menyuburkan sikap otoriter yang berkedok hukum surga-neraka. Padahal, yang tahu ganjaran di akhir hidup manusia juga bukan manusia, termasuk orang tua.
Mencegah memang lebih baik dari memperbaiki. Tetapi, kalau pencegahan itu dilakukan bukan karena cross-check pengetahuan dan pengalaman, itu akan menjadi stereotip.
Termasuk dengan memusingkan anggapan orang lain terhadap teater yang menjadi tempat seni yang tidak jelas. Uniknya, ketika mereka melihat aktor-aktor film besar, mereka gandrung, dan seringkali tidak tahu kalau ternyata aktor-aktor itu adalah alumnus teater.
Artinya, berteater sebenarnya masih punya dampak positif. Kita sebagai subjek di teater dapat menentukannya, apakah mau positif atau negatif.