Mau jadi apa kamu ikut teater?
Orang-orang teater itu gak bener!
Kerjanya tiap malam, mabuk terus!
Kamu nanti akan selalu pulang malem!
Sudah! Gak usah ikut teater!
Wahai, pembaca yang budiman yang mungkin sudah siap membaca tulisan ini dengan secangkir kopi atau sepiring kudapan. Saya hanya ingin bertanya, apakah pembaca pernah mendengar kalimat-kalimat semacam itu?
Mungkin, ada yang pernah, atau malah kalimat-kalimat itu tidak hanya merujuk pada teater, melainkan lingkup yang lebih luas, yaitu tentang kesenian. Menjadi anak band, penyanyi, pelukis, tari, hingga teater, akan mendapatkan tentangan dengan rentetan kalimat seperti itu.
Dewasa ini, orang sering lupa dengan bagaimana mereka dapat menghabiskan waktu untuk bersantai. Bukankah, mereka menonton acara-acara di televisi, pergi ke bioskop untuk menonton aneka film, hingga memutar musik kesukaannya?
Sudahkah mereka sadar, bahwa perlu orang juga untuk dapat menghasilkan itu? Memangnya, yang membuat musik, film, pertunjukan tari, teater, hingga aneka ragam lukisan di pameran itu robot?
Lalu, bagaimana kalau ada anak yang ingin menjadi pelakunya, alias tidak mau hanya menjadi penikmat karya seni abadi?
Kenapa minat mereka malah ditentang?
Sebenarnya, perlawanan terhadap minat anak bukan suatu kesalahan besar. Tetapi, yang salah besar adalah ketika perlawanan itu digunakan untuk menyebarkan stereotip yang tidak sepenuhnya terbukti kebenarannya.
Seperti, yang tersampaikan lewat kalimat-kalimat tadi. Memangnya, menjadi anggota teater harus sering mabuk? Memangnya menjadi anak band harus clubbing?
Tidak!