"Banjir, banjir! Mama Dina, Papa Roy, banjir!"
Banyak orang berteriak, lalu disusul suara benda-benda dipukul untuk dapat membangunkan banyak orang. Bahkan, tidak ketinggalan anak-anak dan bayi turut terbangun dan tentunya menangis.
Begitulah saat saya masih tinggal di kampung kelahiran saya. Walaupun, daerah saya sebenarnya berada di dataran lebih tinggi dari daratan pesisir, tapi banjir bisa menimpa.
Penyebabnya adalah di dekat rumah ada sungai. Sungainya masih alami yang tidak dibangun seperti bendungan--ada temboknya. Itu yang membuat volume airnya mudah naik dan "tumpah", karena tidak ada penghalangnya.
Kalau curah hujan tinggi sudah pasti banjir akan terjadi. Entah, "cuma" setumit kaki orang dewasa atau bisa selutut. Jika memang sampai selutut, rumah pun bisa tergenang.
Lalu, bagaimana cara menyiasati agar tidak banjir?
Rumah saya akhirnya terdapat tambahan 'tembok' di pintu belakang. Kebetulan rumah saya bentuknya L terbalik. Bagian ujung bawah (kaki L) adalah beranda rumah. Sedangkan, bagian atas (kepala L) adalah rumah belakang yang berisi dapur memasak dan kamar mandi.
Ternyata benar. Sumber air ditemukan dan sumur pun dibangun. Sejak itu, sumur itu bisa dikatakan adalah peninggalan ibu saya untuk kampung itu, walau entah sekarang masih ada atau tidak.
Satu hal menarik lainnya, bagian belakang rumah saya justru berada di tengah perkampungan. Maka, tidak heran jika saya lebih sering berjumpa dengan mama-mama dari pintu rumah belakang yang dibangun 'tembok' tadi.
Berhubung saya waktu itu masih kecil, jelas saya tidak bisa leluasa melangkah melewati tembok itu. Tetapi, menurut saya cara itu cukup ampuh untuk menangkal banjir, walau sebenarnya air sungai juga bisa masuk lewat saluran pembuangan limbah dapur.
Seingat saya, saluran pembuangan limbah dapur belum seperti di rumah yang ada di Jawa (rumah lama) yang sudah ada terowongan dan langsung menuju selokan yang juga sudah bertembok. Itulah kenapa walau sudah ada penangkal di pintu, terkadang bagian dapur masih bisa sedikit tergenang.