"Ketuhanan Yang Maha Esa
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia"
Seolah serba tepat. Awal pekan selalu dimulai dari Senin. Angka pertama di setiap bulan baru adalah 1. Hari ini tentu terasa lebih menarik, karena ketepatan itu. Ditambah jika kita ingat bahwa setiap tanggal 1, rekening sepertinya perlu ditengok.
Memang sekarang, hal ini tidak terlalu berlaku. Karena tidak semua orang sekarang tertarik menjadi pegawai negeri ataupun kerja kantoran. Menjadi Youtuber sudah asyik kok.
Lalu, jika kita menengok masa sekolah. Setiap Senin adalah waktu untuk Upacara Bendera. Setiap Sabtu anggota ekstrakurikuler Paskibraka atau OSIS selalu sudah latihan pasang bendera dan simulasi upacara.
Saat SD malah, seluruh siswa mendapat giliran menjadi tim penyelenggara upacara. Ada yang mendapat giliran untuk menjadi Pemimpin Upacara, Pengibar Bendera, Pemandu Koor, dan tentunya Pembaca Doa.
Momen ini akan menarik jika situasinya seperti saat ini. Tepat saat Senin, kita mengadakan Upacara Bendera sekaligus memperingati Hari Lahir Pancasila.
Selain mendengar lagu Indonesia Raya yang selalu bikin merinding, membaca sila-sila yang ada di Ideologi Negara tersebut juga membuat kepala sering bergetar. Sudahkah kita melakukan apa yang dicita-citakan melalui Pancasila?
Selama ini kita melihat pelaksanaan Pancasila adalah dengan kacamata vertikal. Seorang murid akan mengharap gurunya adil dan beradab. Sedangkan gurunya ingin si murid berketuhanan Yang Maha Esa.
Begitu pula ketika melihat Persatuan Indonesia yang terasa masih jauh dari jangkauan ketika melihat adanya praktik-praktik perundungan di sekolah. Sudahkah guru dan orang tua mengajarkan anak-anaknya untuk menciptakan rasa persatuan?
Kalaupun sudah, semua murid masih belum sepenuhnya paham arti persatuan, selain karena persamaan hobi dan lainnya. Hal ini juga terjadi pada orang tuanya yang membuat kelompok-kelompok arisan untuk mempererat silaturahmi, namun terkadang juga untuk membentuk sekat jika ada yang tidak bersedia terlibat.
Termasuk saat menyelesaikan perkara antar anak yang berkelahi. Terkadang status sosial orang tuanya menjadi modal untuk memperoleh kata maaf. Sedangkan yang kurang tinggi, diminta/merasa harus memohon maaf.