Permasalahan yang dihadapi
Indonesia lahir dari semangat persatuan, namun perjalanan menjaga persatuan itu tidak pernah mudah. Jika dahulu musuh bangsa terlihat jelas dalam bentuk penjajahan fisik, kini tantangan justru datang dalam wujud yang lebih samar yaitu derasnya arus informasi digital, polarisasi politik, krisis moral, hingga globalisasi yang dapat menggoyahkan identitas bangsa.
Media sosial, misalnya, telah menjadi arena baru di mana pertarungan ideologi, kepentingan politik, dan isu SARA kerap dimainkan. Hoaks menyebar lebih cepat daripada fakta, ujaran kebencian makin tumbuh subur, dan perbedaan pendapat seringkali berakhir pada perpecahan. Akibatnya, rasa kebangsaan terkikis perlahan tanpa disadari.
Di sisi lain, budaya global yang mudah diakses membuat generasi muda terjebak dilema yaitu merasa bangga pada jati diri bangsa atau justru merasa minder. Kearifan lokal yang kaya sering tersisihkan oleh tren luar negeri yang viral. Padahal, kehilangan identitas budaya sama artinya dengan kehilangan jati diri yang  menjaga bangsa tetap berdiri kokoh.
Birokrasi pun tidak lepas dari sorotan. Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai wajah negara di mata publik sering mendapat stigma lamban, kaku, bahkan korup. Ketika kepercayaan masyarakat pada birokrasi menurun, sebenarnya yang terancam bukan hanya pelayanan publik, tetapi juga legitimasi negara itu sendiri.
Tantangan dan Upaya dalam Penerapan Nilai-Nilai Wawasan Kebangsaan dan Bela Negara
Tantangan kebangsaan di era modern begitu berlapis. Dari sisi ekonomi, ketergantungan terhadap produk impor masih tinggi, sementara UMKM lokal berjuang keras agar dapat bersaing. Dari sisi digital, ancaman berupa kejahatan siber, kebocoran data, dan radikalisme menjadi ruang baru yang membutuhkan kesigapan bangsa.
Di bidang budaya, globalisasi seringkali membawa dua sisi mata uang yaitu membuka peluang kolaborasi, tapi juga mengikis kebanggaan pada budaya sendiri. Sementara itu, di bidang lingkungan, Indonesia dihadapkan pada krisis iklim, deforestasi, dan kerusakan alam yang langsung berdampak pada ketahanan bangsa.
Namun, di tengah tantangan itu, selalu ada ruang untuk memperkuat penerapan nilai wawasan kebangsaan dan bela negara. Cinta tanah air tidak hanya diwujudkan dalam slogan, tapi bisa diterjemahkan ke dalam aksi nyata yaitu mendukung produk lokal, menjaga kelestarian lingkungan, dan melestarikan budaya.
Kesadaran berbangsa dan bernegara juga bukan sekadar hafalan teks, melainkan sikap nyata seperti menghormati perbedaan, menolak politik identitas, dan memperkuat hubungan sosial. Setia pada Pancasila berarti menjadikannya pedoman dalam bersikap, bukan hanya simbol formal di ruang kelas ataupun saat upacara.
Rela berkorban hari ini tidak selalu berarti angkat senjata, melainkan kesediaan menyumbangkan tenaga, waktu, atau bahkan ilmu demi kepentingan bangsa. Dan kemampuan awal bela negara kini bisa berbentuk literasi digital, kesehatan fisik, hingga keterampilan profesional yang membuat bangsa ini siap menghadapi persaingan global.