Indonesia swasembada pangan? Bisa! Tapi ada caranya dan caranya tidak mudah.
1. Support ke petani, zaman Soeharto dulu (kata orang tua dan orangtuanya orang tua atau nenek), banyak penyuluhan ke petani[1]. Kalau petani di Thailand saja teknologinya sudah dari Amerika[2], kenapa kita tidak? Kenapa tools dan metode yang petani kita sekarang lakukan masih (kurang lebih) sama dengan berpuluh tahun yang lalu? Bagaimana caranya kita maju kalau sarjana pertanian kerja di bank [3]? Apa intervensi pemerintah untuk membuat mereka berdaya di lapangan pertanian bukan di ranah bank/finance yang tidak mereka pelajari di bangku kuliah? Bagaimana bisa pertanian kita mau kalau ada gap pengetahuan yang terlalu tinggi dari petani dan teknologi pertanian terkini?
2. Sebagai anak petani, mama saya sering berkata. "Pupuk langka, kalau pupuknya ada dan mahal kita masih bisa beli. Kalau sudah pula mahal dan pupuknya tidak ada, cara belinya bagaimana?" Entah ini masalah dimananya, kenapa petani sampai bingung untuk bisa beli pupuk [4]? Bahkan, petani yang punya uang pun kebingungan karena stok pupuk di mana-mana habis [5.] Apa memang ini dibuat seperti ini? Karena... seharusnya masalah ini sudah bertahun-tahun ya, bukan hanya sekarang? Petani ini kan rantai pertama yang memberi kita makan (beras) setiap harinya. Kalau untuk menjadi rantai pertama saja tidak dipermudah, bagaimana?
Di sini sebenarnya pengusaha pupuk bisa melihat celah. Pupuk ini pasar yang sangat besar sekali jika digarap dengan serius. Petani pasti perlu pupuk, titik.
3. Anak muda malas menjadi petani karena tidak ada uangnya. Percaya, tidak? Bertani itu seperti gambling. Orang tua saya kadang ketika panen, ketika harga beras murah, bisa itu beliau cuma BEP, bisa juga rugi [6]. Kalau harga beras sedang naik (biasanya kalau orang-orang sedang tidak panen, dan mama panen sendiri) ya bisa untung agak banyak.
Apa tidak bisa ya, pemerintah mengintervensi harga padi yang dibeli tengkulak ke petani[7]? Siapa juga yang mau terjun ke bisnis model seperti ini? Apalagi anak muda. Anak petani kaya biasanya kuliah dan bekerja di kota. Sedangkan anak petani kurang mampu biasanya jadi TKW atau TKI[8]. Kalau siklus seperti ini terus, yang jadi petani selanjutnya siapa? Apa kita mau impor terus?
4. Ajari petani untuk ekspor. Harga terong di Jawa Timur dengan harga terong di Australia pasti beda[9]. Bahkan, harga buah salak di Jember, Jawa Timur saja 10.000 dapat 4 kg, di Jakarta 25.000 per kg[10]. Harga kota dan desa beda, harga di dalam negeri dan di luar negeri beda. Entah ini kewajiban siapa, tapi petani bisa lebih berdaya dan sejahtera jika mereka dibuat peka dengan apa yang bisa mereka lakukan dan dapatkan. Seminar ekspor biasanya hanya ada di kota besar11. Petani terkungkung dengan cangkang mereka sendiri di wilayahnya. Bukannya ini tugas kita juga? Maksudnya... daripada mereka menjadi TKW, kalau mereka bisa jadi kaya di negara mereka sendiri, why not? Kenapa tidak? Kenapa harus diinjak-injak harga dirinya di negara lain jika sebenarnya mereka punya potensi untuk jadi kaya juga di tanah mereka sendiri. Harga diri bangsa, kan?
5. Ajari petani membuat desa wisata (atau pemerintah daerah setempat). Ketika saya ke Bali, ke Ubud [sekitar 7 tahun yang lalu], saya literally dibawa melihat sawah. Sebelum Ubud semaju sekarang, saat itu kami benar-benar dibawa berjalan di sawah yang tanpa restoran, tanpa atraksi wisata, hanya jalan ke sawah. Sebagai anak petani, yang saya pikirkan adalah: “Sawah mah di Jember juga banyak, kenapa ke Bali dibawa ke sawah?” Mereka menyebutnya rice terrace tour. Tujuh tahun yang lalu, Ubud rice terrace itu tidak sebagus sekarang.
Kenapa hal tersebut tidak dibawa ke semua wilayah? Kenapa hanya Bali? Apa yang perlu uang dari wisatawan hanya Bali? Ini pekerjaan rumah untuk semua pemerintah daerah. Kalau kalian bisa membuat wisatawan datang ke wilayah kalian, rakyat kalian tidak perlu merantau ke Jakarta atau menjadi TKW di luar negeri. Karena ekonomi akan berputar, apa pun bisnisnya. Toko oleh-oleh banyak yang beli, restoran banyak yang beli, tiket tempat wisata habis, UMKM apalagi. Although it is not that easy!
Bangsa yang besar adalah bangsa yang memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Bukan hanya sekadar angka, di bawah 20.000 sehari baru disebut miskin[12]. Tapi benar-benar apakah rakyatku sejahtera? Apakah rakyatku bahagia? Pernah dengar negara Bhutan yang mengharuskan masyarakatnya bahagia[13]? Menyuruh rakyat yang miskin untuk menghadap raja untuk diberikan kesejahteraan? Hal seperti itu yang harus mulai kita pikirkan. Apakah kita bahagia?
Overall, harapan adalah harapan. Untuk semua ini menjadi kenyataan. Teknologi pertanian yang maju, pupuk yang cukup, harga panen dibeli dengan bagus, adanya petani muda, pengajaran ekspor untuk petani. Bahkan, mungkin mengajari petani tidak menjual hanya komoditi saja, tapi produk setengah jadi[14]. Ini semua harus ada langkah kongkret yang dilaksanakan untuk menjadi kenyataan. Karena tulisan hanya tulisan, tanpa tindakan semua sia-sia. Semoga semua makhluk berbahagia.
Footnotes dan Sumber
1. Kementerian Pertanian RI – Sejarah Program Bimas & Inmas. https://www.pertanian.go.id/home/?show=page&act=view&id=61
2. FAO, Thailand’s Agricultural Mechanization. http://www.fao.org/3/x6906e/x6906e0b.htm
3. BPS Sensus Pertanian 2023 – Profil Petani dan Migrasi Sektor Kerja. https://www.bps.go.id/publication/2023/11/30/bf4cc0d9b346ba44c78f1b80/sensus-pertanian-2023.html
4. Pupuk Indonesia Holding Company – Defisit Pupuk Subsidi. https://www.pupuk-indonesia.com/id/news/defisit-pupuk-subsidi-5-juta-ton
5. Komisi IV DPR RI – Rapat Kerja Ketersediaan Pupuk Bersubsidi. https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/44764
6. BPS – Statistik Harga Gabah Nasional 2020–2023. https://www.bps.go.id/indicator/10/1305/1/harga-gabah.html
7. Permendag No. 24 Tahun 2020 Tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/159956/permendag-no-24-tahun-2020
8. FAO Indonesia – Youth and Agriculture. http://www.fao.org/indonesia/news/detail-events/en/c/1152991/
9. FAO – Comparative Export Prices for Vegetables. http://www.fao.org/3/y5998e/y5998e00.htm
10. BPS – Data Harga Komoditas Hortikultura Per Provinsi. https://www.bps.go.id/subject/55/harga-perdagangan-besar.html
11. Kementerian Perdagangan RI – Export Coaching Program. https://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/eksportir/eksporcoaching
12. BPS – Garis Kemiskinan Maret 2024. https://www.bps.go.id/pressrelease/2024/07/01/xxx/tingkat-kemiskinan-maret-2024.html
13. Centre for Bhutan Studies – Gross National Happiness. http://www.gnhc.gov.bt/en/
14. Kementerian Koperasi dan UKM – Hilirisasi Produk Pertanian. https://www.depkop.go.id/read/kementerian-koperasi-dorong-hilirisasi-pertanian
Note: Artikel ini sebelumnya telah dipublikasikan di Bisnis Muda untuk keperluan lomba. Namun, setelah dihapus, saya tidak dapat mempostingnya kembali di platform tersebut. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk manaruhnya di sini agar tidak sia-sia.