Mohon tunggu...
Desi Handayani Sagala
Desi Handayani Sagala Mohon Tunggu... Editor - Gov Public Relations | Social Causes Enthusiast

Seorang Praktisi Kehumasan Pemerintah yang mencoba menerangkan isu-isu kebijakan yang berkaitan dengan dampak sosial sekitar berdasarkan pengalaman dan pengamatan lewat tulisan dari kaca mata individu.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"A Man Called Ahok", Wajah Birokrasi Indonesia Dulu hingga Sekarang

23 November 2018   15:50 Diperbarui: 23 November 2018   16:23 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: goodreads.com

"Aku tidak takut kalah, aku takut jika aku salah."

Kutipan itu hanya salah satu dari banyaknya pesan inspirasi yang mengunggah nurani saya ketika menonton film ini. Pesan beragam aspek lengkap menyajikan kepada kita, mulai dari pelajaran pembangunan karakter anak yang dimulai dari keluarga, sampai pesan untuk berani menyuarakan dan melawan ketidakbenaran meski sendirian. 

Gambaran bagaimana kondisi bisnis ayahnya Ahok (dalam film) kerap berusaha digerogoti oleh permainan busuk di lingkup birokrasi kala itu dan keras kepalanya Kim Nam (ayahnya) menolak kompromi dengan skenario kepentingan oleh oknum pemerintahan, mempertontonkan kepada kita wajah birokrasi Indonesia pada masa itu. 

Kondisi serupa bahkan berlanjut sampai Ahok memberanikan diri terjun ke dunia politik karena geramnya dengan permainan sana sini yang juga menjadi penyebab kejatuhan bisnis keluarganya, bahkan saat ia memulai kembali bisnis serupa dengan ayahnya. 

Bagaimana bobroknya akses kesehatan dan pendidikan yang digambarkan di film ini menampakkan wajah birokrasi kita. Oknum maling baik di jajaran legislatif sampai eksekutif mencerminkan budaya birokrasi sejak dahulu. 

Jadi ingat istilah "anggaran siluman" yang pernah dilontarkan beliau ketika menjabat sebagai Gubernur Jakarta. Kegeramannya melawan anggaran settingan bahkan sampai harus head to head dengan seluruh fraksi DPRD tidak menggentarkan prinsipnya sedikit pun. 

Ternyata sejak mengawali karier politiknya sebagai anggota DPRD sampai menjadi Bupati Belitung Timur, beliau dengan ciri khasnya sudah sedari dulu menentang ketidakbenaran yang ditemukannya. Mungkin karakter itu tidak terlepas dari didikan orang tuanya khususnya ketika Ahok kecil sendiri kerap menyaksikan hal serupa saat mendampingi ayahnya. 

Cerminan kebobrokan itu saya kira masih kita temukan pada wajah birokrasi kita. Ternyata permasalahan anggaran abal-abal sampai perhatian terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan, dan juga sorotan mengenai perjalanan dinas berlabelkan kunjungan kerja yang dibuat-buat seakan sudah jadi wajah birokrasi kita sejak dahulu hingga saat ini. 

Ladang permainan pada aspek-aspek tersebut bahkan masih relevan hingga sekarang. Korupsi, kolusi, nepotisme mencerminkan wajah serupa sejak berpuluhan tahun lalu. Miris? Sudah pasti. Dan tidak banyak Pejabat Publik yang mencerminkan keberanian yang sama, melawan ketidakbenaran. 

"Banyak yang salah jalan tapi merasa tenang karena banyak teman yang sama-sama salah. Beranilah menjadi benar meskipun sendirian." 

Quote satu ini pernah dipublish Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada kanal medsosnya. Saya kira quote ini pantas mencerminkan perjuangan Ahok untuk berani menentang kekeliruan meski untuk kebanyakan orang sudah menjadi hal lumrah. Ilustrasi ini tampak dalam filmnya ketika ia diminta menandatangani tanda terima honor perjalanan dinas yang ia sendiri pun tidak pernah lakukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun