Mohon tunggu...
Riza Fitrianny
Riza Fitrianny Mohon Tunggu...

Seorang Ibu dan pegawai negeri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Susah untuk Punya Anak?

31 Oktober 2017   00:00 Diperbarui: 31 Oktober 2017   04:47 3284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu saya dan seorang teman terlibat diskusi di kantor. Diskusi ini cukup membekas di pikiran saya. Topiknya tentang suami istri yang  susah  untuk punya anak.

Teman saya ini sebenarnya sudah punya anak.  Kembar, malah.  Anaknya  keduanya perempuan dan usianya  sudah 10 tahun.  Tapi karena beliau  orang Batak   yang menganut garis keturunan patrilineal atau mengikuti  garis ayah,   belum punya anak laki-laki  dirasakannya seperti ada  yang masih kurang, karena tak ada penerus marga.

Berbagai upaya telah dicoba, banyak dokter  telah dikunjungi. Istrinya sendiri pun  sebenarnya berprofesi sebagai bidan di puskesmas. Tapi sudah 10 tahun berlalu, si kembar tak kunjung mendapat adik baru.  Ia menduga program KB yang dijalani Istri setelah si Kembar lahir, menjadi pemicu susah hamil lagi. Rahimnya kering, istilahnya.

Saat itu, ada satu pernyataannya yang cukup menggelitik. Lucu, sekaligus bikin miris hati saya. 

“Kenapa ya Kak, orang yang belum menikah, melakukan di sembarang tempat, mudah kali hamil. Tapi banyak suami istri yang sudah menikah resmi, malah susah punya anak, “ katanya.

Saya  bukan ahli bidang kesehatan, apalagi  yang terkait reproduksi. Namun jika saya amati, memang  banyak  pasangan yang mengalami masalah kesuburan. Sulit atau lama untuk bisa memiliki anak. Hal ini pun sebenarnya  tidak jauh-jauh dari pengalaman saya sendiri. Anak saya, Darrell, lahir setelah usia pernikahan kami lebih empat tahun. Adik ipar saya  juga hanya memiliki satu putra yang sudah duduk di bangku  SMA. Upayanya  untuk punya momongan lagi tak kunjung membuahkan hasil.

Saya ingat  waktu pertama kali periksa ke dokter setelah  hasil tes positif, perawat bertanya: “Berobat dimana,Bu”. Soalnya ada sepupunya yang sudah menikah belasan tahun,  belum punya anak.

Menikah di usia yang cukup matang  ( tua, maksudnya),  saya dan suami  segera  menemui dokter  setelah enam bulan menikah dan belum menunjukkan tanda-tanda hamil.  Saya mengenal beberapa beberapa kawan  suami yang  sudah lama menikah  dan belum dikaruniai anak sehingga mereka memutuskan untuk adopsi. Jadi  saya khawatir  juga, waktu itu.

Dokter pertama yang kami kunjungi adalah dokter perempuan yang membuka praktek di daerah Medan Baru.  Dokter menjelaskan ada banyak hal penyebab suami istri sulit punya anak, antara lain stress karena   pekerjaan, faktor makanan dan gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, minum alkohol, dan kurang olahraga.  Kami pun diarahkan untuk pemeriksaan kesehatan  di laboratorium klinik  Pramita.  

 Hasilnya, suami istri  tidak ada masalah.  Dokter memberi resep berbagai jenis vitamin. Juga  diberitahu  cara melihat  kalender masa subur, yaitu waktu yang tepat untuk pembuahan sel telur dan sperma. Kalau bercinta dimasa  subur, peluang hamil akan lebih besar, yang mana informasi ini sudah kami ketahui dari Dokter Google…..  Bayangkan, suami pulang kerja sampai di rumah malam hari  dalam kondisi  capek dan ngantuk, lalu  istri  ngomong begini : “ Pa,  mama lagi subur nihJ.”

Kami juga sempat  mencari-cari informasi tentang  inseminasi dan bayi tabung.

Selain ke dokter…… kami juga  mengupayakan cara tradisional  atau alternatif.  Namanya juga usahaJ. Saya pun menjalani kusuk  perut, konon katanya untuk membetulkan atau mendekatkan posisi  rahim. Itu  saya lakukan atas saran tetangga yang baik hati. Tukang kusuknya beliau juga yang merekomendasikan.

Ada juga  seorang   bapak ahli pengobatan tradisional  suku Karo yang  tinggal di daerah Sibolangit ,  memberikan resep untuk  bisa punya anak.  Yaitu,  rajin mengonsumsi daging kelapa muda dicampur dengan kuning telur ayam kampung mentah. Juga memakan pinang  muda seukuran ujung jari. Dimakan dengan gula merah supaya rasanya tidak  pahit. Resep ini dilakukan setiap hari,  khususnya untuk  suami. Namun karena  pinang muda  rasanya sangat pahit, suami hanya memakannya beberapa kali saja. Demikian juga dengan kelapa muda dicampur telur ayam kampung, karena  pengadaannya merepotkan.

Setahun….. dua tahun…….. tiga tahun berlalu……

Kami tak lagi ngotot berupaya untuk punya  anak. Bukankah Dokter juga mengatakan kami berdua sehat, tak ada masalah. Kami menikmati pernikahan layaknya  sedang pacaran  saja. Saat hari libur  kami habiskan untuk jalan-jalan ke luar kota.  Terpenting jangan sampai  stress karena memikirkan  kenapa tak kunjung hamil.  Namun tetap berdoa pada Allah SWT  agar segera  diberikan momongan. Satu lagi,  rajin bersedekah kepada anak yatim.

Saat  perkawinan  kami memasuki tahun ke 4,   saya positif hamil. Putra kami,  Darrell,  kini telah berusia  4,5 tahun.  

Itulah  sedikit pengalaman saya. Semoga bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun