Beberapa hari lalu saya dan seorang teman terlibat diskusi di kantor. Diskusi ini cukup membekas di pikiran saya. Topiknya tentang suami istri yang susah untuk punya anak.
Teman saya ini sebenarnya sudah punya anak. Kembar, malah. Anaknya keduanya perempuan dan usianya sudah 10 tahun. Tapi karena beliau orang Batak yang menganut garis keturunan patrilineal atau mengikuti garis ayah, belum punya anak laki-laki dirasakannya seperti ada yang masih kurang, karena tak ada penerus marga.
Berbagai upaya telah dicoba, banyak dokter telah dikunjungi. Istrinya sendiri pun sebenarnya berprofesi sebagai bidan di puskesmas. Tapi sudah 10 tahun berlalu, si kembar tak kunjung mendapat adik baru. Ia menduga program KB yang dijalani Istri setelah si Kembar lahir, menjadi pemicu susah hamil lagi. Rahimnya kering, istilahnya.
Saat itu, ada satu pernyataannya yang cukup menggelitik. Lucu, sekaligus bikin miris hati saya.
“Kenapa ya Kak, orang yang belum menikah, melakukan di sembarang tempat, mudah kali hamil. Tapi banyak suami istri yang sudah menikah resmi, malah susah punya anak, “ katanya.
Saya bukan ahli bidang kesehatan, apalagi yang terkait reproduksi. Namun jika saya amati, memang banyak pasangan yang mengalami masalah kesuburan. Sulit atau lama untuk bisa memiliki anak. Hal ini pun sebenarnya tidak jauh-jauh dari pengalaman saya sendiri. Anak saya, Darrell, lahir setelah usia pernikahan kami lebih empat tahun. Adik ipar saya juga hanya memiliki satu putra yang sudah duduk di bangku SMA. Upayanya untuk punya momongan lagi tak kunjung membuahkan hasil.
Saya ingat waktu pertama kali periksa ke dokter setelah hasil tes positif, perawat bertanya: “Berobat dimana,Bu”. Soalnya ada sepupunya yang sudah menikah belasan tahun, belum punya anak.
Menikah di usia yang cukup matang ( tua, maksudnya), saya dan suami segera menemui dokter setelah enam bulan menikah dan belum menunjukkan tanda-tanda hamil. Saya mengenal beberapa beberapa kawan suami yang sudah lama menikah dan belum dikaruniai anak sehingga mereka memutuskan untuk adopsi. Jadi saya khawatir juga, waktu itu.
Dokter pertama yang kami kunjungi adalah dokter perempuan yang membuka praktek di daerah Medan Baru. Dokter menjelaskan ada banyak hal penyebab suami istri sulit punya anak, antara lain stress karena pekerjaan, faktor makanan dan gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, minum alkohol, dan kurang olahraga. Kami pun diarahkan untuk pemeriksaan kesehatan di laboratorium klinik Pramita.
Hasilnya, suami istri tidak ada masalah. Dokter memberi resep berbagai jenis vitamin. Juga diberitahu cara melihat kalender masa subur, yaitu waktu yang tepat untuk pembuahan sel telur dan sperma. Kalau bercinta dimasa subur, peluang hamil akan lebih besar, yang mana informasi ini sudah kami ketahui dari Dokter Google….. Bayangkan, suami pulang kerja sampai di rumah malam hari dalam kondisi capek dan ngantuk, lalu istri ngomong begini : “ Pa, mama lagi subur nihJ.”
Kami juga sempat mencari-cari informasi tentang inseminasi dan bayi tabung.
Selain ke dokter…… kami juga mengupayakan cara tradisional atau alternatif. Namanya juga usahaJ. Saya pun menjalani kusuk perut, konon katanya untuk membetulkan atau mendekatkan posisi rahim. Itu saya lakukan atas saran tetangga yang baik hati. Tukang kusuknya beliau juga yang merekomendasikan.
Ada juga seorang bapak ahli pengobatan tradisional suku Karo yang tinggal di daerah Sibolangit , memberikan resep untuk bisa punya anak. Yaitu, rajin mengonsumsi daging kelapa muda dicampur dengan kuning telur ayam kampung mentah. Juga memakan pinang muda seukuran ujung jari. Dimakan dengan gula merah supaya rasanya tidak pahit. Resep ini dilakukan setiap hari, khususnya untuk suami. Namun karena pinang muda rasanya sangat pahit, suami hanya memakannya beberapa kali saja. Demikian juga dengan kelapa muda dicampur telur ayam kampung, karena pengadaannya merepotkan.
Setahun….. dua tahun…….. tiga tahun berlalu……
Kami tak lagi ngotot berupaya untuk punya anak. Bukankah Dokter juga mengatakan kami berdua sehat, tak ada masalah. Kami menikmati pernikahan layaknya sedang pacaran saja. Saat hari libur kami habiskan untuk jalan-jalan ke luar kota. Terpenting jangan sampai stress karena memikirkan kenapa tak kunjung hamil. Namun tetap berdoa pada Allah SWT agar segera diberikan momongan. Satu lagi, rajin bersedekah kepada anak yatim.
Saat perkawinan kami memasuki tahun ke 4, saya positif hamil. Putra kami, Darrell, kini telah berusia 4,5 tahun.
Itulah sedikit pengalaman saya. Semoga bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI