Ada sebuah kalimat dalam Qur'an yang penting untuk mendapat perhatian, terutama terkait kepemimpinan. Kalimat ini sering disalahpahami sebagian kalangan untuk fanatik dan patuh tanpa bersikap kritis kepada doktrin agama atau pemimpinnya. Sebaliknya pemimpin atau ulama kadangkala menggunakan kalimat ini untuk mematikan sikap kritis pengikutnya.
"Sami'na Waathona", kami mendengar dan kami taat, adalah lebih dari sekedar ucapan. Kalimat ini sesungguhnya merupakan sifat dan konsekuensi keimanan suatu masyarakat atau kaum, yang diwujudkan dalam tindakan ketika mendengar perintah Allah yang disampaikan melalui para nabi-Nya.
Sebagai lawannya adalah "Sammi'na waashaina", yang berarti kami mendengar tapi kami tidak (mau) menaati. Ini kalimat yang menjadi ucapan orang-orang kafir.
"Sami'na Waathona" seringkali menjadi tema ceramah sebagian ustad untuk menunjukkan kewajiban manusia mematuhi ajaran agama dan perintah Rasulullah. Sayangnya, pembahasan mengenai kalimat ini tidak digali lebih dalam dan hanya berhenti pada dua kata: mendengar dan taat.
Seolah-olah tidak ada proses antara manusia mendengar hingga menaati suatu perintah, padahal Allah memberikan indera pendengaran kepada manusia sebagai alat belajar. Bagi manusia mendengar adalah proses belajar, bahkan menjadi alat belajar paling pertama setelah manusia lahir ke dunia.
Manusia bukan Beo yang hanya mengulangi kata-kata yang didengarnya, juga bukan robot yang hanya menjalankan perintah tanpa memprosesnya terlebih dahulu. Para nabi dan rasul pun menjadi pembawa pesan ilahiat bukan sepeti applikasi chatting, yang hanya menyampaikan pesan kepada pembaca tanpa memahami isi pesan-Nya. Para nabi dan rasul dibekali kecerdasan di atas rata-rata manusia sehingga memahami pesan illahi secara utuh sebelum menyampaikannya kepada umat manusia.
Di era para rasul manusia bisa menjalankan langsung suatu perintah saat mendengarnya, karena terjaminnya pembawa pesan dan pesan yang dibawanya. Tetapi kaum yang tidak pernah bertemu muka dengan nabi dan rasul seperti kita, tidak bisa menelan begitu saja kalimat itu. Bagi kita, di antara "mendengar" dan "menaati" ada proses untuk memahami perintah itu. Itu sunatullah.
Di antara mendengar dan menaati ada kata dan proses yang tersembunyi. Sehingga jika diuraikan maka kalimat lengkapnya menjadi "kami mendengar, (lalu mempelajari untuk memahami, ) dan menaati". Â Sebagai upaya membangun intelektualitas dan pemahaman terhadap suatu pesan dari Allah.
Proses tersebut tidak membuat seseorang menjadi "Sami'na waashaina". Sebaliknya justru menegaskan ketaatan terhadap perintah Allah. Sebab tidak mungkin seseorang yang mendengar suatu instruksi atau pesan dapat melaksanakan instruksi tersebut dengan baik tanpa ia memahami isi pesan.
Menariknya, kalimat itu tidak memberikan petunjuk mengenai persetujuan atau kesepahaman terhadap suatu perintah. Artinya seseorang bisa saja tidak setuju, atau tidak menyukai suatu perintah, tetapi tetap menjalankannya dalam ketaatan.