Ada orang mengatakan, anak-anak yang lahir dalam sebuah keluarga besar akan kurang kasih sayang. Alasannya: selain waktu orang tua untuk mengurus rumah tangga dan kehidupan sehari-hari terbatas, kasih sayang orang tua juga akan terbagi sesuai jumlah anak di keluarga. Misalnya di keluarga kami, untuk saya, kakak, dan lima orang adik saya, maka waktu dan kasih sayang orang tua akan terbagi menjadi tujuh.
Saya tidak bisa membandingkan dengan keluarga lain, tapi merenungi kehidupan yang telah kami jalani sebagai keluarga dengan 7 orang anak, saya tidak setuju pendapat tadi. Memang tidak selalu orang tua kami bisa mendampingi kami, atau memberi perhatian seperti orang tua yang hanya memiliki satu atau dua orang anak. Tetapi itu tidak sama artinya dengan tidak cukupnya kasih sayang. Selain ada kasih sayang kakak dan adik yang jumlahnya cukup untuk membuat satu tim volley, sesungguhnya kasih sayang memiliki berbagai bentuk. Misalnya, kebebasan beraktivitas sejak dini yang membuat saya dan adik-adik relatif cepat mandiri.
Bahkan sejak balita kami sudah terbiasa makan sendiri. Ibu biasa memberikan nasi, dengan lauk atau sayurnya. Kami makan tanpa harus disuapi seperti bayi yang baru lahir, sementara ibu memasak atau menyeterika setumpuk pakaian. Kasih sayang ibu tidak ditunjukkan dengan menyuapi kami, tetapi menyiapkan makanan, membersihkan sisa makan yang berceceran di lantai rumah sampai kami bisa makan tanpa mengotori lantai, hingga mencucikan piring bekas makan, adalah kasih sayang dalam bentuknya sendiri. Kasih sayang orang tua semacam itu yang baru kami rasakan justru setelah kami sudah dewasa.
Karena itu, untuk menciptakan kehangatan keluarga bagi kami tidak cukup dengan berkumpul dan makan bersama, apalagi makan di restoran luar kota. Berkumpul, memasak bersama, makan bersama, sampai mencuci perabotan bekas makan adalah cara terbaik ceriakan kehangatan keluarga di hari kasih sayang.
Terutama ketika bulan puasa tiba, saat-saat menjelang buka puasa merupakan momen yang tidak mungkin terlupakan. Setiap orang di keluarga sibuk dengan "pegangannya" masing-masing, kegaduhannya jangan ditanyakan. Rumah mendadak bising sebelum akhirnya senyap ketika kami mengelilingi hidangan dan mendengar beduk maghrib. Lalu menjelang sahur, kegaduhan yang sama terulang, terus membentuk siklus hingga Idul Fitri tiba.
Terakhir kali saya mengunjungi rumah orang tua bulan lalu, ada yang menarik ketika saya mau menggoreng telur di dapur. Tabung gas di rumah orang tua saya berubah ukuran dan berubah warna.
"Iya, itu tabung gas baru" kata ibu.
"Kalo yang 12 kg, tabungnya aja berat. Apalagi kalau udah isi, ngangkatnya harus berdua. Kasihan bapakmu udah tua" lanjut ibu