Mohon tunggu...
D. Rifanto
D. Rifanto Mohon Tunggu... Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi dan sastra anak, anak muda serta pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | IG @dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Klaudia Anastasia Deda: Menyeberangi batas, mendorong perubahan

23 Agustus 2025   06:54 Diperbarui: 23 Agustus 2025   06:54 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Klaudia Anastasia Deda, di depan kampusnya: Wageningen University. (Sumber: Klaudia Anastasia Deda)


"Kadang, pertemuan singkat bisa mengubah arah hidup kita"


Pertemuan tak terduga. Hari kedua tiba di Jakarta pada tahun 2018 saya ikut bibi berbelanja di selatan Jakarta. Blok M.  Waktu itu saya diterima kuliah di Universitas Indonesia (UI). Maklum, mahasiswa baru dan perlu cari banyak kebutuhan, Blok M jadi pilihan. Saya sendiri berasal dari Kampung Wolorowa, Desa Sarasedu, Ngada, Nusa Tenggara Timur. Di UI, saya kuliah di jurusan Teknolog Bioproses. Karena lelah mencari-cari beragam keperluan, kami dua duduk di salah satu kursi kosong foodcourt. Sementara duduk tenang, di kursi sebelah ada seorang anak muda sekitaran 26 tahun yang menyapa, menanyakan asal dari mana dan mengajak berbincang. Sungguh aneh.

Perbincangan singkat itu menghadirkan cerita tentang LPDP, manfaatnya, hingga persiapan yang perlu dilakukan. Sebuah pertemuan tak terduga, namun membekas bagi saya. Sepulang dari Blok M, saya langsung menceritakan hal tersebut kepada orang tua dan malam itu juga mencari informasi lebih lanjut di internet. Sejak saat itu, LPDP menjadi salah satu tujuan besar saya dan ini membawa pembelajaran buat saya: bahwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Pertemuan singkat dengan orang asing di momen sederhana bisa menjadi titik awal perubahan besar.

Pertemuan itu bawa ingatan kembali ke jaman SMA. Sebab, sejak SMA saya sudah memantapkan tekad untuk kuliah di luar negeri. Langkah pertama untuk mewujudkannya adalah harus bisa kuliah di Pulau Jawa, khususnya di universitas negeri. Karena uang kuliah atau UKT-nya lebih terjangkau. Saya percaya berada di Jawa akan membuka lebih banyak pintu kesempatan, termasuk akses informasi untuk mempersiapkan beasiswa seperti LPDP.

Di NTT, memang banyak penerima beasiswa seperti LPDP, meski yang berasal dari pulau asal saya, yaitu Flores, jumlahnya masih sedikit dibandingkan wilayah lain. Salah satu penyebabnya mungkin keterbatasan akses informasi. Itulah mengapa sejak SMA saya bertekad melanjutkan studi S2, agar kelak bisa menjadi bagian dari mereka yang membawa peluang lebih besar kembali ke daerah.

Selain itu, saya sangat percaya bahwa mendapatkan beasiswa bukan proses instan.  Melainkan memerlukan persiapan jangka panjang. Termasuk membangun CV yang relevan dengan tujuan studi. Karena sejak awal ingin melanjutkan S2 di bidang air dan lingkungan, strategi utama saya adalah menyesuaikan pengalaman dengan bidang tersebut. Misalnya waktu kuliah S1, saya terlibat program pengabdian masyarakat terkait lahan, air, dan lingkungan. Sebelum berangkat S2, saya bekerja sebagai Project Officer di Komodo Water.

Tak hanya bekerja, saya juga aktif di beberapa komunitas, seperti Women in Mining and Energy in Indonesia (WiMe), menjadi Ketua Divisi Peduli Center di Ikatan Alumni Sekolah Staf Presiden, serta terlibat di komunitas lokal Edu Floresta dan BbaF. Semua pengalaman ini, jika ditarik benang merahnya mengerucut pada pengalaman di sektor terkait air dan lingkungan, aktif di komunitas sejenis, serta mengikuti lomba di bidang ini.

Semua langkah ini penting saya lakukan, sebab menunjukkan konsistensi antara pengalaman kerja, kegiatan, dan rencana studi di luar negeri. Hal Ini tidak berarti menutup diri dari bidang lain, tetapi menjadikan prioritas utama agar arah perjalanan tetap jelas.

Saat memutuskan lanjut kuliah S2, saya memilih Wageningen University and Research (WUR), Belanda, pada program Environmental Sciences dengan spesialisasi Water System and Global Changes. Pilihan ini tidak terlepas dari pengalaman saya bekerja di Komodo Water dan latar belakang pendidikan sarjana. Isu air merupakan persoalan serius, terutama di daerah asal saya, Nusa Tenggara Timur, yang kerap menghadapi kekeringan. Bahkan, ketika saya menyebut berasal dari NTT, sering muncul gurauan, "sekarang sumber air su dekat," yang mencerminkan betapa eratnya identitas kami dengan persoalan ketersediaan air.

Dalam memilih universitas pun, saya mengacu pada empat kriteria utama yang saya bikin.  Pertama, ketersediaan dan kualitas bidang studi sesuai minat saya. Kriteria kedua adalah jumlah publikasi ilmiah, karena universitas perlu menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat. Ketiga adalah jaringan kolaborasi, penting untuk pengembangan kerja sama di masa depan. Kriteria terakhir adalah kontribusi nyata bagi masyarakat. Singkatnya, keempat kriteria tersebut semua saya temukan di WUR. Karena itu, saya yakin WUR adalah tempat yang tepat untuk mewujudkan tujuan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun