MAN 1 Kota Cirebon menjadi ruang belajar saya, bukan sebagai tempat saya mengajar, melainkan sebagai ruang tempat saya mengamati, menuliskan, dan merasakan denyut kehidupan pendidikan dari jarak yang cukup dekat namun tetap menjaga jarak reflektif. Sejak hari pertama, langkah saya menyusuri koridor sekolah bukanlah langkah yang penuh dengan spidol atau lembar RPP di tangan, melainkan catatan kecil dan pena. Saya berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lain, dari halaman yang dipenuhi aktivitas siswa hingga lorong-lorong yang sunyi di sela pergantian jam pelajaran. Di sanalah saya melihat sebuah ekosistem pendidikan yang hidup dengan segala keunikan, kehangatan, sekaligus tantangannya. Saya mencoba membiarkan mata dan hati saya menjadi saksi dari interaksi guru dan murid, dari tawa kecil di pojok kelas hingga wajah serius ketika materi disampaikan.
Sebagai seorang peneliti, saya harus menahan diri untuk tidak ikut larut dalam arus pengajaran. Tugas saya bukan menyampaikan materi, bukan memberikan evaluasi, melainkan memahami. Di satu sisi, peran ini terasa ringan karena saya tidak dibebani kewajiban mengajar; namun di sisi lain, justru terasa berat karena saya dituntut untuk melihat dengan lebih teliti dan menuliskan dengan jujur tanpa rekayasa. Saya harus melatih diri untuk mendengar lebih banyak daripada berbicara, dan memperhatikan detail-detail kecil yang mungkin terlewatkan jika saya sibuk berada di depan kelas.
Hari itu, saya menyaksikan bagaimana seorang guru menyampaikan materi dengan penuh semangat. Nada suaranya naik-turun, diselingi dengan humor tipis yang membuat murid tertawa sejenak sebelum kembali serius mendengar. Beberapa murid tampak begitu antusias, mencatat setiap kata yang keluar dari mulut guru. Namun ada juga yang tampak termenung, entah pikirannya melayang ke luar jendela atau sedang menimbang makna dari apa yang dia dengar. Di sisi lain, ada murid yang sesekali berbicara pelan dengan temannya, mencuri waktu untuk mengobrol di sela penjelasan. Semua itu menjadi bagian dari mozaik pembelajaran: sebuah interaksi yang tidak pernah bisa seratus persen tertib, tetapi tetap berjalan dalam harmoni yang khas.
Saya kemudian berpindah ke koridor, mengamati siswa yang baru saja keluar dari kelas. Ada yang berjalan sambil bercanda, ada yang sibuk membuka gawai, ada pula yang sekadar duduk di tangga sambil menikmati udara sore. Dari sana saya belajar bahwa sekolah bukan hanya ruang belajar formal, tetapi juga ruang sosial tempat murid membangun identitas, memperluas jejaring, dan mengekspresikan diri. Kadang, interaksi kecil di luar kelas justru lebih bermakna dalam membentuk karakter dan kebersamaan.
Lingkungan sekolah MAN 1 Kota Cirebon memberikan kesan tersendiri. Pepohonan yang berdiri di beberapa sudut memberikan keteduhan, seakan menjadi saksi bisu dari generasi demi generasi yang tumbuh di sana. Kebersihan sekolah relatif terjaga, dan suasana yang tercipta bukan hanya mencerminkan disiplin, tetapi juga kenyamanan. Sebagai peneliti, saya menyadari bahwa aspek lingkungan fisik ini sangat memengaruhi cara murid belajar. Ruang yang tertata baik mampu memberikan rasa aman sekaligus dorongan untuk lebih fokus.
Namun, bukan berarti semua berjalan mulus. Saya juga melihat dinamika yang menarik---ada guru yang gaya komunikasinya sangat formal dan kaku, sehingga beberapa siswa terlihat kurang terlibat. Di sisi lain, ada guru yang begitu cair, bahkan kadang terlalu membebaskan, sehingga suasana kelas cenderung ramai dan sulit dikendalikan. Dari sana saya mulai memahami bahwa seni mengajar bukan hanya tentang penguasaan materi, tetapi juga bagaimana menjaga keseimbangan antara kedisiplinan dan kedekatan emosional.
Hari pertama ini membuat saya merenung panjang. Menjadi peneliti bukan sekadar mencatat fakta, melainkan juga menuliskan refleksi dari apa yang dirasakan. Saya belajar bahwa pendidikan bukan hanya proses transfer ilmu, melainkan proses pertemuan jiwa---antara guru, murid, dan lingkungan yang mendukungnya. Setiap interaksi yang saya saksikan membawa pesan tersendiri: ada dedikasi, ada kesabaran, ada juga tantangan yang harus terus dihadapi.
Dalam hati, saya bertanya: apakah saya bisa menangkap semua realitas ini dengan adil? Apakah catatan saya cukup untuk menggambarkan kompleksitas yang ada? Menjadi peneliti berarti menerima keterbatasan, bahwa tidak semua bisa tercatat, dan tidak semua bisa dipahami secara tuntas. Namun di situlah justru letak keindahannya: penelitian adalah perjalanan, bukan sekadar hasil akhir.
PPL saya di MAN 1 Kota Cirebon hanya berlangsung selama 20 hari. Tetapi saya menyadari, setiap hari akan memberikan pelajaran baru, sudut pandang baru, dan refleksi baru. Hari pertama ini hanyalah pintu masuk menuju ruang yang lebih dalam: ruang hati yang terbuka untuk memahami pendidikan bukan dari teori di buku, melainkan dari denyut kehidupan nyata di sekolah.
Saya pulang hari itu dengan catatan tangan yang penuh coretan, namun lebih dari itu, saya pulang dengan hati yang penuh rasa kagum dan hormat. Kagum pada guru yang setiap hari berjuang membentuk generasi, hormat pada murid yang berusaha memahami dunia melalui proses belajar yang tidak selalu mudah. Dari catatan lapangan, saya belajar untuk lebih rendah hati; dari ruang hati, saya belajar untuk lebih peka.
Mungkin inilah yang membedakan antara mengajar dan meneliti. Mengajar berarti berbicara, meneliti berarti mendengar. Mengajar berarti memberi, meneliti berarti menerima. Dua peran yang sama-sama mulia, hanya jalannya berbeda. Dan saya, di hari pertama ini, mulai menemukan makna baru dari perjalanan akademik saya: bahwa menjadi peneliti muda adalah tentang belajar memahami, bukan menghakimi; tentang mencatat dengan jujur, bukan menilai dengan tergesa-gesa.