Hari Minggu (20/11) lalu Bocah dilamar dan sebenarnya saya serta anggota keluarga lain cukup shock, tak menyangka betapa cepatnya waktu berlalu. Yang tadinya ditimang-timang, diantar ke sekolah  (bahkan ketika SMA masih diantar hingga si Bocah ditegur oleh kepala sekolahnya), menyelesaikan kuliah dan mulai bekerja  eh ketemu jodoh di tempat kerjanya.  Dan menginjak usia 24 tahun, dia akan memasuki lembar hidup yang baru. Benar-benar hidup yang baru karena suaminya mendapat pekerjaan di kota lain. Dia akan meninggalkan kami semua dan kami hanya bisa mendoakan agar semua berjalan dengan baik tanpa halangan yang berarti.
Hari itu kami berkumpul, adik-adik si Bocah yang lima orang, bapak dan ibu kandungnya hadir semua. Menatap mereka sekeluarga, hati saya seperti tersedot pada suatu labirin penuh haru. Memandangi  gadis-gadis kecil itu juga orangtuanya yang harus banting tulang untuk menghidupi dan mengisi hidup anak-anaknya. Bukan hal yang mudah hidup di Jakarta dengan 6 anak ( walaupun biaya kuliah dan uang saku si Bocah menjadi tanggungan saya), istri yang full ibu rumah tangga, bapak pencari nafkah tunggal sebagai guru renang di suatu sekolah internasional masih nyambi narik ojek tiap Sabtu dan Minggu. Tapi sering juga si Bapak malah merumput (membersihkan halaman rumah saya yang sekitar 700m2), saya sering mendengar si Bapak bercakap-cakap dengan banyak pekerja informal yang bermain di halaman rumah,
 "Mendingan merumput di sini daripada stress di rumah."
Pernah juga mendengar dia bicara dengan Mini -- ART tetangga , "Aku heran deh, kenapa sih aku gak berhenti-hentinya nyari duit. Engga ada kegiatan lain selain nyari duit."
Saya cukup maklum akan keluhannya itu, sama maklumnya ketika isterinya bercerita bahwa tekanan darahnya 190.
"Apa? Pasti gara-gara si Eddy (suaminya), "kata saya sok tau.
Eh dua-duanya kompak menjawab, "Bukaaan, ini gara-gara mikirin anak-anak."
Begitulah, saya lantas teringat rumah petak mereka yang dihuni 8 orang. Keributan antar anak tak jarang  membuat tetangga keberatan. Makanya tidak heran Ibu memerlukan pelepasan ketegangan.
"Ibu kan tiap malam naek sepeda keliling-keliling, biar engga stress," jelas si Bocah.
"Oh sampai gitu ya, makanya kamu jangan bandel di sana," kata saya.
Memang setamat SMA, si Bocah saya kembalikan ke rumah orangtuanya karena saya lihat dia tidak mengenal artinya berbagi selama tinggal bersama saya. Jadi  begitulah, si Bocah mendapat uang kuliah, uang buku dan uang saku dari saya namun dia bersama keluarga kandungnya. Bukan hal mudah awalnya,