Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Taman Tebet, Ruang Publik yang Tersisa di Jakarta

28 September 2015   09:11 Diperbarui: 28 September 2015   09:11 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Jam sudah menunjukan pukul 06.00 pagi. Di tengah kesibukan kota Jakarta, orang-orang nampak berolahraga di Taman Tebet. Hampir setiap pagi Taman Tebet ini dipenuhi orang-orang yang berolahraga. Beberapa orang tampak berlatih bela diri Ju Jit Su. Beberapa orang lainnya nampak bermain bulu tangkis. Banyak orang lainnya yang berlari mengelilingi Taman Tebet. Beberapa anak sekolah di sekitar Tebet juga sering memanfaatkan taman tersebut untuk pelajaran olahraga bagi murid-muridnya.

Taman Tebet terletak di  antara Jalan Tebet Barat Raya & Jalan Tebet Timur Raya. Orang sering menyebutnya dengan nama Taman Honda, Tebet. Menurut data dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, taman di Jakarta Selatan ini memiliki luas 1.800 M2 dengan panjang 600 m. Taman ini memiliki fasilitas olahraga, arena bermain anak, 2 buah kamar mandi, 1 buah musholla, 1 buah pos jaga, lampu penerangan, 2 tempat parkir, tempat parkir sepeda, tempat-tempat duduk dari beton dan besi, taman bacaan masyarakat, fasilitas terapi reflexy, gajebo, papan peta taman, tong sampah di semua sudut taman.

Taman Tebet adalah salah satu taman yang tersisa di Kota Jakarta. Ada beberapa taman lain di Jakarta selain Taman Tebet. Namun, jumlahnya tentu tidak sebanding dengan luas kota Jakarta secara keseluruhan. Sebagian besar kota Jakarta tertutup oleh bangunan beton untuk kawasan komersial, baik mall maupun perkantoran. Padahal, taman memiliki banyak fungsi bagi masyarakat Jakarta. Taman bukan hanya berfungsi secara ekologi, namun juga sosial. 

Taman kota adalah bagian dari ruang publik. Di taman kota, warga bisa berinteraksi secara sosial. Dengan interaksi sosial tersebut, gesekan antar warga bisa dicegah. Dari situlah modal sosial warga kota dapat dibangun. Dan Taman Tebet adalah salah satu ruang terbuka hijau yang tersisa di Jakarta.

Saat ini, luas RTH di Jakarta saat ini sekitar 75 kilometer persegi atau hanya 9,8 persen dari total luas daratan Ibu Kota. Angka ini masih sangat jauh dari ketentuan minimal dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam UU itu mewajibkan kota memiliki RTH minimal 30 persen. Mengacu dari UU itu, Jakarta masih kekurangan sekitar 20 persen lagi RTH. Bagaimana Jakarta bisa memenuhi 20 persen lagi RTH sebagai bagian dari ruang publik?

Untuk memenuhi target RTH itu, mau tidak mau, kota Jakarta harus melakukan pendekatan dari sisi tata ruang. Selama ini tata ruang di Jakarta menempatkan kota ini menjadi kota dengan multifungsi. Jakarta menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan pemerintahan. Beban Jakarta teralalu berat. Akibatnya Jakarta mengalami obesitas alias kegemukan. Seperti halnya manusia, penyakit obesitas ini pun menimbulkan beberapa penyakit komplikasi yang mematikan. Jakarta sebagai kota yang mengalami problem obesitas pun memiliki penyakit komplikasi itu, dari penyakit sosial, sampah, banjir, kemacetan lalu lintas hingga polusi udara. Semuanya menjadikan kota Jakarta semakin tidak manusiawi.

Namun, selama ini Pemprov DKI Jakarta seringkali menyelesaikan persoalan kota dengan kamuflase. Pemprov Jakarta melakukan kamufalse penyakit obesitasnya dengan selalu memakai baju yang lebih besar dari ukurannya. Pembangunan 6 jalan tol dalam kota hingga reklamasi pantai atau pembangunan Giant Sea Wall adalah bagian dari upaya kamuflase itu. Sudah pasti solusi kamufalse ini akan berujung pada kegagalan. Karena sering berujung pada kegagalan ini pula mungkin Jakarta tidak memperoleh penghargaan sebagai smart city. 

Menyelesaikan problem obesitas itu sebenarnya sederhana. Sesorang yang mengalami problem obesitas harus melakukan diet agar berat badannya tidak terus bertambah. Begitu pula dengan Jakarta.Kota ini harus mulai berbagi kue pembangunan dengan daerah lain. Jakarta harus merelakan kotanya tidak lagi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Diinsentif bagi pusat-pusat bisnis dan kawasan komersial harus dilakukan, agar pusat-pusat bisnis itu berpindah keluar Kota Jakarta. Penguasaan lahan secara luas oleh para pengembang properti harus pula diatur. Land Reform atau reformasi agraria harus dimulai dari Ibukota ini. Tanah-tanah hasil land reform tersebut yang nantinya digunakan untuk memperbanyak ruang-ruang publik, termasuk RTH di Jakarta. 

Pertanyaannya, beranikah Pemprov DKI Jakarta mengambil tindakan yang radikal seperti tersebut di atas untuk menambah RTH sebagai ruang publik? Ataukah Pemprov DKI Jakarta masih berkutat pada paradigma usang pembangunan kota dengan solusi kamuflase selama ini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun