Beberapa waktu yang lalu (10 Oktober 2018), Sandiaga Uno, Cawapres Prabowo berkicau di twitter. "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini salah satu dari janji-janji pendiri bangsa yang saya dan Pak @prabowo akan wujudkan."Â Begitu tulisnya di akun twitter @sandiuno.
Kita, paling tidak saya, tidak tahu apakah kicauan itu ditulis sendiri atau orang lain. Kalaupun di tulis sendiri, apakah Sandiaga Uno paham dengan apa yang ditulisnya?Â
Apa yang ditulis Sandiaga Uno itu adalah potongan dari bunyi Pasal 33 UUD 1945. Selengkapnya bunyi Pasal 33 UUD 1945 adalah sbb:
Ayat 1
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
Ayat 2
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Ayat 3
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ayat 4
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Ayat 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Benang merah dari Pasal 33 UUD 1945 ada di ayat 1 dari pasal tersebut, yaitu sistem perekonomian kolektif. Sehingga tak heran dalam ayat-ayat berikutnya disebutkan kepemilikan kolektif atas bumi, air dan kekayaan alam serta cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.Â
 Kalau ditelisik struktur kepemilikan menurut Pasal 33 UUD 1945 adalah pertama, kepemilikan negara, koperasi dan terakhir perusahaan swasta (korporasi). Struktur kepemilikan semacam inilah yang diyakini menjadi pondasi dari ekonomi kolektif. Tujuan dari kepemilikan kolektif itu adalah kesejahteraan rakyat bukan kemakmuran orang per orang.
Lantas apa itu kesejahteraan rakyat? Kesejahteraan rakyat di sini juga berarti terhindarnya rakyat dari kerusakan alam akibat dari kegiatan ekonomi. Kenapa demikian? Hal itu disebabkan kerusakan alam yang diakibatkan karena kegiatan ekonomi berarti menghancurkan sumber-sumber kehidupan rakyat dan dalam jangka panjang hal itu bisa mendatangkan bencana ekologis yang membuat rakyat jatuh miskin. Tak heran pada ayat 4 dari Pasal 33 UUD 1945 itu kemudian disebutkan bahwa salah satu prinsip demokrasi ekonomi adalah berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup. Artinya kegiatan ekonomi, meskipun penguasaan alat produksinya secara kolektif, tidak boleh merusak alam.
Nah, apakah Sandiaga Uno sudah memahami pesan dari isi pasal 33 UUD 1945 itu?Â
Mungkin bila pertanyaan itu muncul, Sandiaga Uno atau pendukunganya akan balik bertanya, apa urusan anda menanyakan itu?
Jawabanya mudah, karena rekam jejak Sandiaga Uno justru menunjukan berseberangan dengan isi pesan dari pasal 33 UUD 1945 itu.
Seperti ditulis di website dw.com, Tahun 2015 Polda Riau menetapkan PT Langgam Inti Hibrindo sebagai tersangka pembakaran hutan seluas 250 hektare di kabupaten Pelalawan. Ini adalah perusahaan perkebunan sawit anak grup PT Provident Agro Tbk. milik Sandiaga Uno. Bandingkan dengan data BPS tahun 2013 yang menyebutkan rata-rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga usaha pertanian hanya seluas 0,89 ha.
Tidak berhenti hingga di situ. Menurut website Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pada 2016 silam, banjir lumpur yang melanda kawasan wisata Pantai Pulau Merah, Kabupaten Banyuwangi, tidak lepas dari aktivitas pertambangan emas PT. Bumi Suksesindo (BSI) milik pengusaha Sandiaga Uno, Boy Thohir dan Soeryadjaya.Â