"Beribadah tenang bersama xxxxx (sebuah produk otomotif)", begitu salah satu bunyi iklan dari sebuah produk otomotif menjelang bulan Ramadan tahun ini. Bukan hanya itu, di sebuah gerbong kereta commuter line Jabodetabek, ada iklan produk pasta gigi yang bunyinya, "Saatnya berhijarah". Maksud  kata hijrah dari iklan tersebut tentu saja adalah berpindah dari pasta gigi lain ke pasta gigi produknya.
Dari kedua iklan tersebut, kita dapat melihat bahwa makna ibadah dan hijrah sudah direduksi sedemikian rupa untuk kepentingan dagang. Agama dalam hal ini telah menjadi komoditas dagang dari para pemiliki modal.
Menjelang bulan Ramadan, makin banyak produk-produk barang dan jasa yang mengaitkannya dengan tema-tema religius. Seakan bila kita membeli produk mereka itu sebagai bagian dari ibadah. Tak heran bila kemudian di bulan Ramadan, justru kita cenderung tambah rakus. Kita bahkan tanpa sadar membeli sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan.
Padahal, esensi ibadah puasa di bulan Ramadan, secara sosial, adalah agar kita dapat merasakan laparnya orang miskin. Sehingga setelah selesai berpuasa di bulan Ramadan, kita semakin peduli terhadap nasib mereka yang miskin dan terlindas. Namun, mungkinkah kita dapat merasakan penderitaan orang miskin, bila kita justru semakin rakus di bulan Ramadan.
Menjadikan agama sebagai komoditas tidak hanya monopoli pemilik modal dalam menjajakan dagangannya. Menjadikan agama sebagai komoditas juga dilakukan oleh elite politik. Para elite politik yang sedang berebut kekuasaan berlomba menunjukan ke publik bahwa mereka paling religius.
Para elite politik itu tidak hanya menggunakan simbol-simbol agama tapi juga memanfaatkan ruang-ruang ritual keagamaan untuk melakukan kampanye terhadap diri dan kelompoknya atau menyebarkan kebencian terhadap lawan politiknya.
Tak heran kemudian ada himbauan untuk tidak menjadikan masjid sebagai ajang kampanye politik. Banar bahwa Islam, dalam hal ini, tidak bisa dipisahkan dengan politik. Benar, bahwa Nabi Muhamamd SAW juga membicarakan persoalan ummat di dalam masjid. Tapi, harus dipahami bahwa politik menurut Islam adalah politik kerakyatan.
Apa itu politik kerakyatan menurut Islam? Mari kita merujuk pada KH A Mustofa Bisri alias Gus Mus. Politik kerakyatan, kata Gus Mus, yang sudah jarang-jarang dijalankan. Ia memamparkan bahwa politik kerakyatan itu politik yang membela rakyat.Â
Lantas siapa rakyat itu? Rakyat dalam konteks ini harus didifinisikan sebagai kelompok masyarakat kelas menengah-bawah. Bukan segelintir orang kaya tanpa dibela pun mereka sudah bisa membela kepentingan mereka sendiri.Â
Nah, apakah elite politik yang menjadikan ruang-ruang keagamaan untuk kampanye guna memenangkan diri dan kelompoknya dalam pilkada, pemilu dan pilpres itu dalam rangka membela kepentingan rakyat? Jawabanya adalah tidak.
Buktinya, saat ada petani, nelayan dan pedagang kaki lima yang disingkirkan dari sumber-sumber kehidupannya mereka diam aja kok. Bahkan, beberapa di antara mereka justru menjadi bagian dari kaum penindas itu.