Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memelihara Hantu PKI, Menyelamatkan Oligarki

4 Oktober 2017   11:09 Diperbarui: 4 Oktober 2017   11:21 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jarum jam seperti berputar ke belakang, ke era Orde Baru. Kalimat itu mungkin tepat untuk menggambarkan kondisi akhir-akhir ini. Di saat rejim otoritarian Orde Baru berkuasa, setiap bulan September selalu saja dimunculkan desas-desus kebangkitan PKI (Partai Komunis Indonesia). Saat itu, setiap bulan September, tiba-tiba ditemukan atribut palu arit.

Biasanya desas-desus bangkitnya PKI dan ditemukan atribut palu arit itu akan diikuti dengan razia terhadap simbol-simbol PKI di sekolah-sekolah. Untuk memberikan efek menegangkan, biasanya razia di sekolah melibatkan aparat kepolisian dan tentara. Anti-klimaks dari ketegangan munculnya hantu PKI itu adalah nonton bareng (nobar) film G30S/PKI.

Kini nampaknya, ritual Orde Baru untuk memelihara hantu PKI kembali terulang akhir-akhir ini. Tahun ini, bulan September diawali dengan tersebarnya berita bohong di media sosial bahwa ada rapat PKI di kantor LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta. Kantor organisasi masyarakat sipil yang kerap membela warga miskin dan tertindas itu pun dikepung dan diserang oleh massa yang terhasut berita bohong di media sosial.

Serangan terhadap LBH atas nama melawan PKI ini kemudian diikuti dengan seruan nobar film G30S/PKI. Polanya sangat mirip saat rejim otoritarian Orde Baru berkuasa. Bedanya, jika saat Orde Baru berkuasa selain nobar, televisi-televisi juga wajib menayangkan film G30S/PKI. Tak tanggung-tanggung, kali ini seruan nobar film G30S/PKI dilakukan oleh Panglima TNI. Padahal di awal reformasi, film ini pernah dihentikan setelah mendapat protes dari purnawirawan TNI Angkatan Udara (AU) karena film G30S PKI dinilai menyudutkan posisi TNI AU. Pertanyaan berikutnya adalah mengapa hantu PKI terus dipelihara hingga kini?

Memelihara hantu PKI sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari politik oligarki. Apa kaitannya hantu PKI dengan politik oligarki?  Menurut Associate Professor dari Northestren University Jeffrey A Winters, Politik oligarki adalah politik pertahanan kekayaan oleh segelintir pemilik modal. Segelintir pemilik modal itu kemudian terlibat dalam mempengaruhi kebijakan publik untuk mempertahankan kekayaannya dari 'gangguan' masyarakat dan negara.

Memberikan label PKI terhadap masyarakat adalah salah satu cara melemahkan gerakan masyarakat yang dianggap menganggu para oligarki. Di era Orde Baru, Kedungombo, pada masa lalunya adalah basis pendukung PKI. Label PKI pada masa Orde Baru adalah sesuatu yang menakutkan, kanarena dengan stigma itu berbagai kekerasan terhadap korban menjadi dibenarkan.

Label PKI terhadap gerakan protes rakyat masih dilakukan hingga sekarang. Di Banyuwangi, Jawa Timur, aktivis lingkungan hidup diberikan label PKI. Label itu diberikan karena kegigihannya melawan rencana proyek tambang di kawasan yang seharusnya dilindungi karena fungsi ekologisnya. Sebelumnya para penolak pabrik semen di Jawa Tengah juga pernah mengalami hal yang sama. Penyerangan LBH Jakarta dengan isu PKI dan kemudian diikuti wacana pembubaran organisasi itu juga sulit dipisahkan dari kepentingan politik oligarki.

Memelihara hantu PKI bukan saja memudahkan pihak terntentu untuk melemahkan gerakan yang menuntut keadilan, baik keadilan ekonomi maupun ekologi, namun juga bisa menutupi persoalan yang lebih substansial bagi kehidupan rakyat banyak. Saat ini hantu PKI ini misalnya, berhasil menggeser perdebatan publik tentang korupsi yang masih menggurita di negeri ini.

Padahal kerugian akibat tindakan korupsi di negeri ini mencapai ratusan trilyun rupiah. Sejarawan asal Inggris Prof. Peter Carey menyebut sepanjang 2001-2015, kerugian Indonesia akibat korupsi mencapai Rp 205 triliun. Celakanya, cuma 11% saja atau senilai Rp 22 triliun selamat lewat proses peradilan. Padahal, sejumlah uang yang dirampok para koruptor itu bisa digunakan untuk membangun berbagai fasilitas publik bagi rakyat. Di tengah kerugian negara akibat korupsi itulah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat serangan bertubi-tubi. Serangan terhadap KPK kini tidak lagi mendapatkan perhatian publik. Publik lebih asyik larut dalam ritual daur ulang isu PKI.

Persoalan korupsi di satu sisi dan pelemahan KPK di sisi lainnya adalah persoalan yang bisa menusuk ke jantung politik oligarki. Untuk itulah persoalan korupsi harus dikaburkan dengan kegaduhan bangkitnya PKI.

Isu berikutnya yang tiba-tiba tidak mendapatkan perhatian publik lagi setelah munculnya daur ulang isu PKI adalah persoalan kesenjangan ekonomi. Data tentang kesenjangan ekonomi membuat kita, sebagai anak bangsa, miris. Bagaimana tidak, sebuah laporan tahunan "Global Wealth Report 2016" dari Credit Suisse menyebutkan ketidakmerataan ekonomi Indonesia mencapai 49,3 persen. Itu artinya hampir setengah aset negara dikuasai satu persen kelompok terkaya nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun