Mohon tunggu...
Darwono Guru Kita
Darwono Guru Kita Mohon Tunggu... profesional -

**************************************** \r\n DARWONO, ALUMNI PONDOK PESANTREN BUDI MULIA , FKH UGM, MANTAN AKTIVIS HMI, LEMBAGA DAKWAH KAMPUS JAMA'AH SHALAHUDDIN UGM, KPMDB, KAPPEMAJA dll *****************************************\r\n\r\n\r\n\r\n\r\nPemikiran di www.theholisticleadership.blogspot.com\r\n\r\nJejak aktivitas di youtube.com/doitsoteam. \r\n\r\n\r\n*****************************************\r\n\r\nSaat ini bekerja sebagai Pendidik, Penulis, Motivator/Trainer Nasional dan relawan Pengembangan Masyarakat serta Penggerak Penyembuhan Terpadu dan Cerdas Politik Untuk Indonesia Lebih baik\r\n*****************************************

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Harus Mengubah dari Kerja Merangkul Menuju Kerja Unggul

21 Oktober 2017   07:43 Diperbarui: 21 Oktober 2017   09:59 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pesan utama yang penulis tangkap dengan naiknya Jokowi sebagai presiden RI adalah " Indonesia adalah milik kita bersama, dan kita bisa turun tangan bersama mengurus Indonesia, tidak peduli siapapun kita dan dari mana asalnya". Pemimpin Indonesia tidak lagi berasal dari trah tertentu, atau latar belakang sosial tertentu, siapapun kita asal rakyat mendukungnya karena yakin kita memilik kemampuan, maka kita bisa menjadi pemimpin Indonesia". Demikian penilaian penulis yang dituangkan pada tulisan "Kebangkitan Menjadi Indonesia Seutuhnya" (Kompasiana, 20 Mei 2016). 

Namun rupanya, kita belum dapat menjadi bangsa yang dewasa berdemokrasi, ada saja alasan yang dikedepankan untuk menunjukan bahwa kita bemum bisa menerima kekalahan, kita sulit "move on" dengan kelahana kontestansi pada pesta demokrasi. Sebagaimana Anies Baswedan saat ini alami dengan terus dibully, Jokowi, hingga masa jabatannya 3 tahun pun terus dibully. Menjelang satu tahun Jokowi memegang amanat sebagai Presiden,  melalui medi kompasiana pula dengan tulisan berjudul "Jokowi Sang Play Maker menggambarkan betapa perasaan "tidak bisa menerima kekalahan" melahirkan berbagai aktivitas penghambatan kerja pemerintahan Jokowi. Berikut kutipannya :  

"Ibarat permainan bola, bola saat ini dikuasai kapten team garuda, Ir. H. Joko Widodo. Sang Paly maker ini sedang mendrible bola dengan teknik yang terjaga namun tetap tersaji indah sebagai seniman bola. Ibaratnya, sebagai team yang telah banyak menderita kekalahan, karena permainan masa lalu yang tidak terkelola rapih, Jokowi mencoba terus menggelorakan seluruh anggota team tanpa lelah, tanpa putus asa, dan dengan manuver manuver indah, meski penonton terus mencemooh, memberi teriakan teriakan yang melecehkan. Padahal seharusnya menjadi suporter yang membangfkitkan semangat juang teamnya.

Sang Play maker terus rajin memnjemput bola, mengolah secukupnya lalu melakukan paasing-pasing akurat untuk mengejar ketertinggalan teamnya. Kadang ada di wilayah pertahanan mengamankan gawang, siaga di lapangan tengah menggalang serangan dan bermanuver di garis depan memberikan umpan-umpan terobosan dan terus menggalang kekompakan team untuk terus berusaha menaklukan lawan dengan kekuatan dan waktu yang ada.

Jokowi hadir di kubangan-kubangan lumpur sawah, menghalau puing-puing dari hutan hutan yang dibakar, menyingsingkan baju ke kandang-kandang peternakan, menggelorakan semangat berusaha di pasar-pasar taradisional, membongkar sumbatan-sumbatan pembangunan yang ada, bahkan mendatangi sumber-sumber investasi yang siap bekerja sama bukan pada satu sumber modal kapitalis, tetapi juga ke China, Timur tengah, dan kemanapun yang memungkinkan diajak kerja sama yang sinergik, dengan jiwa entrepreneurnya " (Kompasiana, 15 September 2015).

Penlis menilai, sampai dengan masa jabatan yang ke 3 tahun ini Jokowi juga masih teruus berkutat dengan upaya merangkul. Penulis memahami, Jokowi memerlukan dukungan terutama dari parta-patai politik besar di Senayan, namun tentu saja dukungan yang diperoleh dari Senayan tidak gratis. Bongkar pasang (resufle) yang terjadi penulis nilai bukan terkait dengan penajaman visi Nawa Cita Jokowi, namun lebih pada upaya mengakomodasi "balas budi" dukungan dari senayan itu. 

Nawa cita penulis pahami sebagai program-program pro rakyat untuk mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial. Penulis menilai, program ini sangat berbeda dengan pemerintahan terdahulu mulai dari Orde baru (ORBA) hingga pemerintahan SBY yang menjadi presiden 2 periode. Adanya balas budi merangkul pihak-pihak lawan (dalam Pilpres) harus dibayar mahal dengan disingkirkannya figur-figur pro kerakyatan sejati seperti Rizal Ramly, Anies Baswedan dan Sudirman Said pada jajaran kabinet pada Reshufle ke dua kabinet kerja. Tragisnye yang mengganti adalah tokoh-tokoh yang tidak sepenuhnya memahami misi pro rakyat Nawa Cita, bahkan diisi oleh orang yang selama ini anti kerakyatan dan lebih jelas sebagai figur pengusung kapitalis/Neoliberalis seperti Sri Mulyani.

Pendek kata, pengganti menteri-menteri pro Rakyat dengan menteri-menteri yang kental dengan kapitalisme/neoliberalisme laksana "memakan buah simalakama", mendapat dukungan, namun tertelikung pada esensi misinya. Melalui kompasiana edisi 30 Juli 2016 berjudul "Mendukung untuk Menelikung ?", penulis ingatkan Jokowi : " Jokowi harus ektra hati-hati, boleh jadi mendukung dalam rangka menelikung. Bagi saya, jelas pendekar-pendekar neolib tidak mungkin menerima Nawacita."

Saat ini, Jokowi memimpin sebagai presiden memasuki taun ke empat, menurut hemat penulis, sebaiknya jokowi segera mengbah haluan dari upaya "kerja Merangkul" ke Kerja Unggul" dalam artian, biarlah anjing menggonggong dengan jeritan-jeritan kekalahannya yang tidak bisa diterimanya, tidak perlu berusaha merangkulnya, namun harus lebih fokus pada kerja-kerja unggul, yang kerja untuk mewujudkan janji-janji kampanyenya dalam rentang waktu yang masih ada.. Jokowi harus tegas terhadap menteri-menterinya yang kurang atau bahkan bertentangan dengan Nawa Cita itu sendiri. Karena janji adalah hutang, dan Nawa Cita adalah janji utama Jokowi.

Meminjam istilah dari Gubernur DKI Jakarta, Anies Basweda, bahwa esensi kepemimpinan adalah menepati Janji, maka apabila dalam dua tahun ke depan ada upaya-upaya yang signifikan dari Jokowi dan Kabinet Kerjanya dalam mewujudkan Nawa Cita, maka kesempatan Jokowi untuk memenangkan pilpres 2019 tidak terelakkan. Jika Jokowi menunjukan prestasi dan kerja nyatanya dalam mewujudkan janji-janji kampanye yang telah disampaikannya, maka berbagai retorika maupun propaganda termasuk propaganda-propaganda hitam tidak akan bisa menghambat langkahnya kecuali kalau Allah berkehendak lain (lihat :"Kalahakan Jokowi Tidak Bisa dengan Retorika dan Propaganda, Kompasiana, 16 September 2017)

Oleh karena itu, seali lagi, memanfaatkan masa baktinya sebagai presiden yang masih sekitar 2 tahun, Presiden Jokowi harus lebih memfokuskan pada kerja-kerja unggul, yang bisa secara signifikan dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan upaya dan prestasi nyata kerja Jokowi maka otomatis rakyat dapat merasakan bukti kepemimpinannya. Rakyat Indonesia sudah cerdas dapat membedakan mana yang sekedar omong doang dan mana yang merelaitas dalam kehidupan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun