Mohon tunggu...
Darwin
Darwin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, CTO, COO, Trainer, Public Speaker

S.Kom., M.Kom., CPS®, CRSP, CH, BKP, CDM, Google Ads Certified, Google My Business Certified, SEMrush Digital Marketing Certified, Content Marketing Certified, Inbound Marketing Certified, Service Hub Software Certified, Sales Management Certified, CITGP, COBIT® 2019 Foundation

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Back to Basic

9 Desember 2019   07:39 Diperbarui: 9 Desember 2019   07:41 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/

Semua proses kehidupan dimulai dari nol. Belajar dari hal paling dasar dan kita mulai naik kelas. Sama halnya dengan dunia kerja, semua ahli / pakar berawal dari seorang fresh graduate yang belum mengetahui apa-apa. Setiap hari harus menghadapi masalah, menyelesaikan masalah, dan mulai memahami best practise dari setiap permasalahan.

Mari kita ambil contoh untuk kita kupas dalam artikel ini, misalnya mengenai penjualan barang. Tim marketing dalam setiap perusahaan memikirkan promo apa yang akan diberikan untuk pelanggan setiap 3 bulan, setiap 1 bulan, bahkan bisa sampai setiap minggunya. 

Ada promo buy 2 get 1 dimana kita membeli 2 barang akan mendapatkan 1 barang gratis. Ini termasuk menarik, tetapi tidak semua orang tertarik dengan promo ini ketika belum membutuhkannya.

Muncul promo lainnya lagi, belanja untuk kumpulkan poin. Poin tersebut bisa ditukar dengan voucher diskon belanja. Kembali lagi ke masalah yang sama yaitu orang belum tertarik ketika belum membutuhkannya apalagi kita harus mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit untuk mengumpulkan poin tersebut. 

Proses berpikir akan memunculkan kompleksitas. Kombinasi dari beragam promo terkadang membuat tim marketing sendiri kebingungan bagaimana cara mengukur efektivitasnya. Padahal sederhana, turunkan saja harga barangnya maka pelanggan akan mulai melirik dan yang awalnya tidak membutuhkannya pun bisa mulai menginginkannya. Sederhana? Ya, benar.

Kita ambil contoh lainnya yaitu dunia IT mengenai big data. Awal mula muncul database bertujuan untuk menyusun data menjadi rapi sehingga mudah dikelola dan dikembangkan.

Beragam jenis data dari berbagai sumber dan berbagai format dimasukkan ke database dengan satu format saja yaitu teks yang disusun ke dalam tabel. Data suara, gambar, dan video harus diubah menjadi teks untuk dimasukkan ke dalam database. Kelihatannya sudah sempurna bukan?

Waktu demi waktu, kebutuhan akan data semakin membesar sehingga muncul istilah big data. Big data mampu menyimpan semua jenis bentuk data tanpa harus terikat dengan satu standar seperti database. Suara, gambar, dan video mampu disimpan kedalamnya tanpa harus diubah menjadi teks.

Ini seperti bertolak belakang dengan konsep database yang telah membuat segala sesuatunya menjadi satu standar. Kenapa harus menghancurkan standar tersebut? Bukankah kita membalikkan diri lagi ke awal dimana segala sesuatunya tidak memiliki satu standar?

Ini yang kita sebut back to basic. Kita setiap harinya terus belajar tanpa kita sadari. Pengetahuan kita bertambah dan kita cenderung membuat segala sesuatunya menjadi kompleks, bahkan complicated. Stres, depresi, dan tidak bahagia mulai menghampiri kita.

Kenapa kita tidak belajar dari seorang anak kecil yang polos, yang mampu melihat segala sesuatunya dari dasar? Mereka bahagia, dan mereka pasti mampu menyelesaikan masalah secara sederhana. Hal kompleks sekalipun dilihat sederhana oleh anak kecil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun