Pada masa sekarang, penggunaan AI seperti Chat GPT untuk penulisan artikel dan mencari informasi sudah menjadi hal yang dilumrahkan oleh masyarakat. Akan tetapi, apakah AI dapat memberikan hasil yang tepat ketika kita membicarakan isu sensitif yang memerlukan keberpihakan dan perspektif HAM yang jelas, seperti isu LBGTIQ di Indonesia? Untuk memahami hal tersebut, saya mencoba menggunakan AI Chat GPT untuk memproduksi sebuah artikel dengan prompt "tuliskan artikel mengenai kebijakan siswa LGBT dimasukkan ke barak sepanjang 1000 kata."Â
Secara umum, artikel tersebut telah menjelaskan mengapa kebijakan memasukkan siswa yang dinilai memiliki keberagaman identitas LGBTIQ ke dalam barak adalah bentuk pelanggaran HAM. Sayangnya, artikel tersebut tidak menjelaskan posisi yang jelas mengenai keberpihakan pada kelompok rentan. Secara penulisan, Chat GPT memberikan tanda kutip pada kata-kata yang dipengaruhi oleh nilai, seperti "terindikasi", "maraknya", atau "membina." Akan tetapi, artikel tersebut tidak menjelaskan secara gamblang bahwa kata-kata tersebut adalah kata yang dipilih oleh pemerintah untuk memperkuat stigma kepada komunitas LGBTIQ. Pemilihan kata tersebut digunakan untuk menjustifikasi terhadap diskriminasi dan persekusi yang dilakukan pada komunitas LGBTIQ dan semua individu yang tidak memenuhi ekspektasi peran gender heteronormatif. Artikel ini pun turut terjebak dalam perspektif tersebut ketika mereka menyebutkan "anak yang berbeda dari norma mayoritas." Frasa tersebut secara tidak langsung memberi stigma bahwa anak-anak tersebut melanggar norma dan komunitas LGBTIQ adalah norma minoritas.
Permasalahan terkait dengan perspektif tersebut juga terlihat ketika artikel tersebut menyebutkan bahwa pengiriman siswa ke barak tanpa persetujuan orang tua dan anak adalah pelanggaran hak anak. Pengiriman anak ke barak militer, terutama dalam konteks bentuk penghukuman, adalah bentuk pelanggaran hak anak. Institusionalisasi anak memiliki risiko pelanggaran hak maupun kekerasan yang besar. Sayangnya, orang tua seringkali belum teredukasi mengenai kepentingan terbaik anak, sehingga memilih institusionalisasi sebagai upaya penanganan. Pernyataan dalam artikel tersebut justru menjustifikasi tindakan orang tua yang setuju untuk menginstitusionalisasi anaknya.Â
Alternatif pendekatan yang diberikan oleh artikel ini juga mengindikasikan bahwa anak yang tidak memenuhi ekspektasi peran gender yang heteronormatif harus didampingi, walaupun pendampingannya dilakukan secara humanis. Pernyataan tersebut kembali menegaskan bahwa artikel ini tidak dapat memposisikan diri dengan tegas. Artikel ini gagal mengidentifikasi akar masalah dari isu ini, yaitu kendali pemerintahan patriarkis dan militerisktik pada sistem pendidikan yang tidak inklusif. Pada akhirnya, saran yang diberikan pun cenderung bersifat normatif.
Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun AI telah memiliki kemampuan untuk menganalisis permasalahan yang memiliki lapisan kerentanan, teknologi ini belum dapat memiliki pendirian perspektif yang kuat. Ketidakmampuan AI tersebut bermasalah karena pemahaman perspektif yang kuat diperlukan untuk memastikan bahwa kita dapat membela semua kelompok rentan secara inklusif dan partisipatif, bukan hanya melihat permasalahan secara permukaan.
Apakah hal tersebut berarti penggunaan AI sebagai alat penulisan artikel mengenai isu sensitif dapat menimbulkan masalah? Kita tidak dapat menghentikan orang lain untuk menggunakan AI sebagai dasar informasi atau bahkan penulisan artikel. Hal yang dapat kita ubah adalah informasi yang didapatkan oleh AI dan cara mereka mendapatkan informasi tersebut. Cara kerja penulisan Large Language Model seperti Chat GPT adalah dengan mengumpulkan informasi-informasi yang tersebar di internet sebagai dasar menyusun rangkaian kata yang merefleksikan informasi yang mereka dapatkan. Oleh karena itu, saat ini menjadi waktu yang sangat penting bagi kita untuk menuliskan artikel atau konten yang didasari perspektif HAM dan keadilan. Semakin banyak kita menyuarakan penolakan pada kebijakan yang berbahaya ataupun tidak adil, semakin banyak AI mengumpulkan data mengenai poin-poin ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai dasar informasi yang diberikan pada orang lain.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI