Mohon tunggu...
Danny Halim
Danny Halim Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta Prodi Ilmu Komunikasi

Always Learn Something New

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jiwa Nongkrong, Beban Plong

10 Oktober 2020   15:27 Diperbarui: 10 Oktober 2020   15:36 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: balipost.com

Tentu sudah tidak asing lagi dengan budaya satu ini, yaitu budaya nongkrong di kedai kopi atau bahasa gaulnya cafe, yang mana telah menjadi salah satu gaya hidup masyarakat di Indonesia saat ini. Biasanya gaya hidup nongkrong ini dibarengi dengan ngopi, yang diakibatkan pengaruh dari industri hiburan (Cahya, 2017).

Selain itu, anak - anak muda yang identik dengan kaum millenial lebih menyukai kenyamanan daripada konsep design yang menarik dari sebuah kedai kopi atau caf. Hal ini yang mendorong terjadinya peningkatan pertumbuhan tempat - tempat nongkrong yang cozy atau sekedar nyaman untuk berkumpul dan bertemu, di mana dapat dianggap sebagai bukti nyata adanya kepemahaman terhadap keinginan dari anak - anak muda yang identik dengan kaum millenial.  

Pada saat nongkrong di kedai kopi, biasanya anak - anak muda berkumpul untuk bercanda tawa, saling bercerita tentang pengalaman masing - masing, bermain games yang bentuknya baik konvensional maupun games mobile, dan mengerjakan tugas serta belajar bersama - sama. Kegiatan -kegiatan ini cenderung mengarah ke arah yang positif dan berguna untuk mengurangi rasa lelah dari aktivitas mereka sehari - hari. Tidak luput juga bahwa kedai kopi merupakan salah satu jenis tempat publik dan bersifat terbuka, sehingga kegiatan - kegiatan yang mengarah ke arah yang negatif seperti narkotika dan kriminalitas lainnya, tidak dapat dilakukan.

Dari budaya yang telah dijabarkan di atas, dapat dipandang melalui kacamata pola budaya yang diklasifikasikan oleh Hofstede dan orientasi nilai Kluckhohn dan Strootbeck, terkait kegiatan dalam budaya nongkrong di kedai kopi. Salah satu pola budaya yang diklasifikasi oleh Hofstede dan sesuai dengan budaya nongkrong di kedai kopi adalah kolektivisme.

Dalam buku Samovar, Porter, & McDaniel (2010, h. 238 - 240) menjelaskan dalam budaya kolektivis, tingkat ketergantungan di komunitas merupakan hal utama dan lebih penting dibandingkan kebutuhan dan keinginan pribadi seseorang. Penjelasan ini juga diperkuat dengan sebuah pepatah China yang menyebutkan bahwa "Tidak peduli sekuat apa, satu tiang tidak dapat menopang sebuah rumah". Selain itu, kerukunan dan kerja sama jauh lebih penting dibandingkan individualisme.

Dari penjelasan budaya kolektivisme, dapat disimpulkan bahwa suatu komunitas/kelompok merupakan hal yang ditekankan dengan adanya ketergantungan setiap individunya. Hal ini serupa dengan budaya nongkrong di kedai kopi, yang mana anak - anak muda berkumpul dengan komunitasnya yang didasari oleh ketergantungan satu sama lain untuk bermain bersama, mengerjakan tugas, dan lain sebagainya.

Sisi lain dari budaya nongkrong di kedai kopi, dapat dilihat dari salah satu klasifikasi orientasi nilai Kluckhohn dan Strootbeck, yaitu orientasi aktivitas khususnya orientasi being. Dalam orientasi being (Samovar, Porter, & McDaniel, 2010, h. 254) mengacu pada ekspresi spontanitas kepribadian manusia dan didukung oleh Adler dan Jelinek dengan pernyataan, "Masyarakat dalam budaya orientasi being menerima manusia, peristiwa, pandangan yang mengalir secara spontan. Semuanya melepaskan stress, memanjakan keinginan, dan bekerja sementara.".

Beranjak dari orientasi being, dalam budaya nongkrong di kedai kopi telah menjadi spontanitas dari masyarakat Indonesia dengan tujuan menghabiskan waktu bersama kerabat/teman ketika memiliki waktu luang. Selain itu, dengan berkumpul bersama teman/kerabat, individu dapat sekaligus melepaskan stress dan refreshing, karena saat berkumpul individu - individu dalam satu komunitas dapat saling bercerita, bermain, dan sebagainya.

Dengan demikian, budaya nongkrong di kedai kopi diadaptasi dari gabungan dua pola budaya yang berasal dari dimensi berbeda, yaitu kolektivisme dan orientasi aktivitas.

Daftar Pustaka: 

Cahya, K. D. (2017). Budaya Nongkrong di Kedai Kopi yang Tak Pernah Pudar.

Samovar, L. A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. (2010). Komunikasi Lintas Budaya (edisi ke-7). Jakarta: Salemba Humanika.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun