Komedi di Indonesia bukan sekadar hiburan, melainkan cara rakyat menyiasati hidup. Dalam lelucon, masyarakat Indonesia menertawakan ketimpangan, menyindir kekuasaan, hingga menertawai diri sendiri. Dari layar lebar hingga layar genggam, komedi Indonesia terus berevolusi, menjadi cermin zaman yang jenaka, pahit, sekaligus penuh warna.
Komedi film Indonesia berkembang sejak masa awal perfilman nasional. Film seperti "Tiga Dara" (1956) dan "Gagal Kawin" (1958) menyelipkan unsur humor dalam cerita keluarga dan percintaan. Namun, ikon sejati komedi Indonesia baru benar-benar menguat lewat nama-nama seperti Bing Slamet, Ateng-Iskak, dan tentu saja Warkop DKI.
Warkop (Warung Kopi) yang awalnya kelompok lawak radio, masuk ke layar lebar dengan film seperti "Mana Tahaaan" (1979). Gaya humor mereka cerdas, absurd, dan penuh sindiran sosial. Dono, Kasino, dan Indro memadukan slapstick dengan satir. Humor mereka bukan hanya soal tawa, tapi juga respons atas perubahan sosial di era Orde Baru.
Pada periode ini juga, kelompok seperti Srimulat mendominasi panggung hiburan dengan gaya komedi khas rakyat yang spontan, beraksen daerah, dan penuh permainan bahasa. Meskipun jarang tampil dalam film, Srimulat mengakar kuat dalam budaya komedi Indonesia dan menjadi referensi tetap dalam berbagai bentuk komedi berikutnya.
Memasuki 1990-an, film komedi mulai kehilangan di bioskop. Popularitas televisi dan sinetron membuat komedi berpindah ke layar kaca. Program acara televisi seperti Spontan, Ngelaba, dan Bajaj Bajuri menjadi tempat baru komedi berkembang. Komedi situasi (sitkom) mulai akrab di ruang tamu, dengan karakter-karakter unik dan latar cerita urban.
Namun pada awal 2000-an, film komedi perlahan bangkit. Film "Janji Joni" (2005) garapan Joko Anwar mengusung komedi yang lebih sinematik dan kontemporer. Sementara "Get Married" (2007) dan "Mendadak Dangdut" (2006) menyuguhkan komedi dengan kritik sosial terselubung. Genre komedi pun mulai melebur dengan romansa, drama, bahkan horor.
Di era ini, komedi Indonesia semakin beragam. Film seperti "Comic 8" (2014), "Cek Toko Sebelah" (2016), dan "My Stupid Boss" (2016) menunjukkan bahwa komedi bisa dibalut dalam berbagai format, dari aksi hingga narasi keluarga. Nama-nama seperti Ernest Prakasa, Raditya Dika, dan Soleh Solihun merepresentasikan generasi baru komedian-sineas yang dekat dengan realitas anak muda.
Komedi tak lagi hanya tentang tertawa, tapi juga tentang representasi identitas, keresahan sehari-hari, dan pengalaman generasi milenial. Format mockumentary, voice-over satir, hingga self-deprecating humor menjamur, memperlihatkan keinginan penonton akan humor yang lebih dekat dengan diri mereka.
Revolusi digital mengubah segalanya. Kini siapa pun bisa menjadi komedian lewat YouTube, TikTok, dan Instagram. Channel seperti Raditya Dika, Arief Muhammad, Coki & Muslim (Majelis Lucu Indonesia), hingga Mamat Alkatiri menawarkan gaya komedi yang sangat personal, eksperimental, dan tak terikat sensor televisi.
YouTube membuka ruang eksplorasi bagi beragam bentuk humor: sketsa absurd, prank sosial, parodi budaya populer, hingga stand-up comedy versi daring. Format seperti "Ngobam", "SkinnyIndonesian24", hingga "Cameo Project" menggabungkan kritik sosial, budaya populer, dan gaya vlog.